PERTAHANKAN SURIAH DALAM MELAWAN IMPERIALISME!
PERJUANGKAN KEMANDIRIAN KELAS DALAM PERANG SIPIL!
Icaro Caleb, 2016
[Versi asli artikel ini ditulis sekitar bulan Juni hingga Juli 2015, akan tetapi karena beberapa kesulitan internal, artikel ini tidak dapat segera diterbitkan saat itu dan menjadi tidak relevan pada beberapa bagian karena dinamisnya perang sipil di Suriah. Namun, artikel ini masih memuat sejumlah isu politik yang masih menjadi pusat kompleksitas konflik serta berkaitan dengan posisi oportunis dari Organisasi-organisasi berkedok Trotskyis. Berkenaan dengan beberapa hal tersebut, kami memutuskan untuk mempublikasikan artikel ini pada Januari 2016 dengan menambahkan sedikit komentar pada pada bagian dalam kurung. Penambahan setelahnya serta sedikit pembenahan ditambahkan pada Agustus 2016.]
Lebih dari 4 tahun terakhir, penduduk Suriah telah dilanda perang sipil antara kediktatoran yang berusia beberapa dekade di satu sisi, dan gabungan beberapa pasukan borjuis yang ingin membentuk sebuah rezim baru, di sisi lainnya. Selanjutnya, beberapa elemen baru muncul pada situasi yang sudah kompleks ini: meluasnya wilayah organisasi Fundamentalis Negara Islam (biasa kita kenal sebagai ISIS); serangan udara, pemboman serta keseluruhan intervensi imperialis dalam negara tersebut,yang umumnya dilakukan oleh militer Amerika Serikat. Kami mendedikasikan tulisan ini untuk memperdalam perdebatan tentang beberapa pertanyaan yang berkaitan pada beberapa waktu yang lalu, yaitu dalam artikel kami pada September 2012 berjudul The Syrian Conflict and the Tasks for Revolutionists (tersedia juga dalam bahasa Portugis) serta pembaruan dalam beberapa aspek tertentu, dimana perlu dipertimbangkan lagi sejumlah pembaruan ini.
Sekali lagi kami ingin menggarisbawahi beberapa faktor yang bagi sebagian besar kaum kiri, termasuk beberapa kelompok yang mengklaim sebagai Trotskyis, cenderung tidak acuh ketika menghadapi persoalan situasi di Suriah, yakni: pentingnya sikap kemandirian kelas mengingat beragam pasukan borjuis yang sedang memperebutkan kekuasaan. Kaum Marxis tidak percaya pada mitos bahwa di Suriah sedang berlangsung sebuah “revolusi” yang kononnya dipimpin oleh tentara-tentara “pemberontak” yang melawan pemerintah, hal ini karena kekuatan ini (tentara pemberontak) tunduk pada berbagai kepentingan fraksi borjuis. Jalannya perang sipil ini, meski tidak terselesaikan setelah empat tahun berlalu, menunjukkan perlunya sebuah poros independen dari kelas buruh, yang berpendirian menentang baik terhadap kediktatoran Assad serta terhadap pasukan-pasukan reaksioner yang ingin menjatuhkan Assad demi hasrat reaksioner mereka sendiri. Dilema yang sama dan perlunya sebuah kemandirian kelas menjadi hal pokok bagi situasi politik di Kobanî.
Watak kekuatan-kekuatan utama yang saling bersaing di Suriah
Rezim Assad merupakan rezim partai tunggal kapitalis yang berusia dua dekade, berkuasa di atas bangsa yang melarat, dan terkurung dalam tatanan dunia imperialis. Mayoritas pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi semenjak awal perang sipil dilakukan oleh pemerintahan Suriah. Ia memiliki Rusia sebagai sekutu internacional utamanya, yang mana dengan Rusia ia menjalin perjanjian perdagangan yang penting. Bagaimanapun juga dari sudut pandang kelas buruh, rezim kediktatoran ini tidak layak mendapatkan dukungan politik apapun.
Koalisi Nasional Suriah (SNC) merupakan badan terorganisir yang mencoba menyatukan berbagai kesatuan dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA), yang merupakan sempalan dari angkatan bersenjata Suriah. Sejak 2011, FSA telah memperoleh posisi penting di dalam negeri, tetapi banyak diantara posisi itu telah hilang dan kembali ke tangan Assad atau direnggut oleh Negara Islam/ISIS. Dalam artikel kami tahun 2012, kami menerangkan susunan politik dan militer dari SNC/FSA: keterkaitan dari komponen utamanya dengan program imperialis dan borjuisnya. Semenjak itu, FSA telah perlahan-lahan didominasi oleh kekuatan berorientasi agama (utamanya para pemimpin Sunni yang tidak puas dengan aspek sekuler rezim Alawi Assad). FSA juga telah mulai beroperasi dengan bersekutu dengan kekuatan-kekuatan lainnya, seperti “Front Islam”, yang muncul pada 2014.
Terlepas dari khayalan sebagian besar kelompok-kelompok kiri internasional yang menganggap bahwa perjuangan FSA melawan rezim Assad merupakan bagian dari “revolusi Suriah”, kami telah menjelaskan dalam artikel tersebut bahwa para “pemberontak” ini bukanlah kekuatan politik yang mampu (atau mau) mencapai kemajuan yang baik bagi rakyat pekerja Suriah ataupun bagi bangsa minoritas tertindas di dalam negerinya.
Amerika Serikat telah gagal mencapai sebuah persekutuan yang langgeng dengan kebanyakan pemberontak ini, yang dipandang tidak cukup “moderat”. Washington menjadi semakin berhati-hati dalam memilih sekutunya semenjak pengalaman penuh petaka di Libya, di mana kebanyakan persenjataan yang dikirim ke sana berakhir di tangan para ekstremis anti-Amerika. Bagaimanapun juga, beberapa kesatuan FSA tertentu telah menerima bantuan militer yang signifikan dari Amerika Serikat bahkan Obama telah mulai melatih “kelompok pemberontak” mereka sendiri, yang juga harus dikecam sebagai pasukan darat dari imperialisme. Seperti dilaporkan:
“A.S. telah memutuskan untuk menyediakan truk penjemput yang dilengkapi senapan mesin serta radio pemanggil serangan udara untuk beberapa pemberontak moderat di Suriah”, ujar pejabat kementerian pertahanan. Namun upaya berbagai pemboman belum berhasil – ini merupakan sebuah refleksi tentang betapa kompleksnya medan peperangan di Suriah.…
“Rencana selanjutnya, AS bersiap melatih kelompok-kelompok pemberontak moderat yang mengobarkan perlawanan kepada dua pihak melawan kaum ekstremis dan rezim Suriah. Pejabat kementerian pertahanan mengatakan bahwa pelatihan akan dimulai pada pertengahan maret, di Yordania, dengan kamp pelatihan kedua akan segera dijadwalkan di Turki.”
— AS akan memberikan pada sebagian pemberontak asal Suriah wewenang untuk menyerukan penyerangan, 17 Februari 2015. Tersedia di http://tinyurl.com/kojxzx5
[Januari 2016: masuknya Rusia ke dalam konflik pada Oktober 2015, dengan sejumlah serangan udara & mobilisasi besar-besaran angkatan darat – awalnya untuk mendukung Assad lalu justru diperluas bagi dukungan logistik dan militer kepada pasukan“pemberontak” tertentu untuk melawan organisasi Fundamentalis Negara Islam/ISIS. Pada kala ini, semua pihak terpaku pada sebuah “solusi” yakni sebuah pemerintahan transisi yang mengedepankan kepentingan kedua kubu Rusia dan AS – yang mana, perlu ditekankan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang cukup berbeda dari kepentingan rakyat pekerja Suriah dan bangsa-bangsa tertindas di negeri ini.]
Pesaing reaksioner lain dalam perang sipil Suriah adalah kekuatan yang memproklamirkan diri mereka sebagai Negara Islam Irak dan Lebanon (ISIS, dari nama sebelumnya “Negara Islam Irak dan Syam”), yang baru saja menghimpun kekuatan. Mereka sebelumnya merupakan bagian dari operasi militer fundamentalis yang sama dengan Al-Qaeda Suriah (Front Al-Nusra). Di mana Front Al-Nusra lah yang menceraikan hubungan dengan ISIS pada awal 2014, dengan menyatakan bahwa mereka “terlalu keras kepala.”
Sejak itu, ISIS telah mengambil alih beberapa wilayah penting di Irak. Sebagian besar didanai oleh para cukong minyak Muslim dari negara-negara yang turut mendukung kelompok-kelompok pemberontak tertentu – kononnya disebut “Sahabat-sahabat Suriah” (Turki, Qatar dan Arab Saudi) – ISIS memanfaatkan hubungan mereka dengan para oposisi Suriah demi mendapatkan senjata-senjata berat dan merekrut pejuang. Mereka merengkuh kekuasaan di kota-kota penting di Irak sebagai ujung tombak pemberontakan Sunni melawan pemerintahan yang dipimpin golongan Syiah yang didukung oleh Amerika Serikat. Semenjak itu pula, ISIS telah menguasai lebih banyak wilayah dibandingkan yang Al-Qaeda pernah mampu lakukan. Banyak perkotaan dan pedesaan dalam cengkeraman mereka memiliki produksi minyak yang besar, yang mana ISIS kemudian mengekspor minyak-minyak itu dengan tujuan untuk membiayai usaha ekspansinya. ISIS sedang berperang melawan pemerintah Irak (yang dibantu dengan pasukan Amerika Serikat di medan perang) dan berencana mendirikan sebuah “Kekhalifahan” di bawah kendali ketat mereka. Pada waktu yang sama, ISIS memperkuat posisi mereka di Suriah dan mengambil alih provinsi-provinsi sepi di sebelah Timur negeri ini, termasuk keseluruhan wilayah perbatasan antara Irak dan Suriah. Mereka telah melakukan perlawanan baik terhadap kekuatan Assad juga terhadap para oposisi, terutamanya satuan-satuan FSA.
ISIS tampaknya merupakan kekuatan oposisi yang terlatih dan dipersenjatai paling baik dari lainnya. Sekitar 8 juta jiwa hidup di kota-kota di kedua negara (Suriah dan Irak) yang verada dibawah kendali mereka dan kelompok ini mampu membentuk sejenis “perekonomian perang”, yang mana penduduknya bergantung pada kelompok ekstremis ini untuk keperluan pangan dan kebutuhan hidup lainnya. Sejauh ini, lewat kebijakan ini telah terjamin adanya sebuah kolaborasi pasif dari penduduk mereka terhadap mereka (ISIS). Mereka (ISIS) juga telah menganiaya sejumlah minoritas non-Muslim (dan bahkan beberapa kelompok Muslim lain) dan sering omong besar tentang adab mereka berupa perbudakan dan jual-beli perempuan dari agama lain, serta bagaimana mereka membasmi kelompok-kelompok non-Muslim pedesaan. ISIS saat ini (saat tulisan ini ditulis sekitar 2015-2016) menguasai sekitar sepertiga wilayah Suriah, di mana mereka memberlakukan hukum Syariah menurut mereka.
Kami berpendapat bahwa Negara Islam/ISIS adalah sebuah bentuk reaksi fundamentalis yang berusaha membuang hak-hak mendasar seperti hak politik, sosial yang sekuler. Jikalau ISIS mencapai kemenangan mutlaknya atas wilayah Suriah ini akan berarti kejatuhan banyak minoritas etnis dan agama ke dalam situasi perbudakan atau pembantaian atas mereka. Sebuah partai buruh revolusioner di Suriah mesti berusaha untuk membela rakyat tertindas dan mengorganisir massa buruh perkotaan dan pedesaan dalam melawan gerombolan ganas ini. Kekalahan mereka (ISIS) sangat lah penting bagi rakyat pekerja. Namun seruan kita untuk mengalahkan ISIS tidak mengubah penentangan dan perlawanan kita terhadap intervensi udara pimpinan AS di negeri ini, bahkan kalaupun mereka (AS) menyatakan bahwa intervensi udaranya ditujukan demi melenyapkan ISIS.
Kaum imperialis tidak dapat menyediakan jalan lain yang tulus bagi rakyat Suriah, dan telah melakukan tindakan puluhan kali lebih kejam dan ganas dibandingkan gerombolan ISIS itu. Pada akhirnya, pertumbuhan dan perkembangan ISIS sendiri merupakan produk sampingan dari pendudukan kaum imperialis yang penuh malapetaka di Irak. Disaat media arus utama AS mengekspos kekejaman Negara Islam/ISIS, mereka (AS) menyembunyikan tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh para sekutu mereka sendiri di Suriah, Irak, Libya, dan Arab Saudi, yang juga menjalin banyak kekejaman (belum lagi mengingat tingginya jumlah korban jiwa dan kecederaan yang diakibatkan oleh turunnya pencabut nyawa dari langit dalam bentuk bom yang banyak).
Kita tidak kasihan sedikitpun atas kekalahan yang mungkin akan menimpa kaum imperialis di Irak dan Suriah (bahkan dari tangan Negara Islam/ISIS). Kita tidak melupakan kejahatan yang dilakukan oleh kaum imperialis di Irak (termasuk kematian sekitar 200.000 warga sipil Irak) dan kita juga mempertimbangkan perlunya pengusiran mereka (Imperialis) dari tanah Timur Tengah, serta kekalahan bagi siapapun “kaki tangan di medan” milik mereka, sebagai prioritas utama kita. Namun terlepas pada fakta bahwa ISIS telah menjadi sasaran pengeboman kaum imperialis saat ini, penaklukan ISIS atas kota-kota Irak dan Suriah yang ditujukan untuk mendirikan rezim teror bukanlah bentuk dari “perjuangan anti-imperialis”, melainkan tindakan-tindakan reaksioner.
“Niat baik” Obama dengan membom ISIS yang semestinya untuk menyelamatkan warga minoritas di Suriah hanyalah omong kosong belaka. Campur tangan AS hanya memiliki satu tujuan yaitu memastikan cengkeramannya atas negeri ini. Siapapun yang memiliki keraguan mengenai tujuan AS (dan kekuatan imperialis lainnya) di Suriah perlu melihat kembali pada “percobaan besar demokrasi” yang telah dialami oleh Libya dan Irak. Pemboman oleh Amerika dimaksudkan untuk mengulur waktu dan mengekang ISIS (sementara pada saat yang sama ia juga melemahkan rezim Assad), sembari Washington terus mencoba mengorganisir dengan lebih baik kekuatan pengikut-pengikut setianya di medan perang.
[Januari 2016: Pada kala ini, paragraf ini tampaknya telah menjadi usang karena tampaknya AS, Perancis dan Inggris bersepakat untuk menghancurkan ISIS, sebagian sebabnya ialah karena akibat dari adanya tekanan pada mereka melalui pemboman yang dilakukan Rusia untuk membentengi Assad dan sebagian lagi dikarenakan oleh rona dan jeritan atas perluasan kaum fundamentalis. Bagaimanapun juga, pada saat teks ini ditulis, terlihat seakan bahwa strategi AS berkutat pada “mengelola situasi”, yaitu, membiarkan ISIS melemahkan Assad, sementara berupaya memperkuat posisi kelompok pemberontak “moderat” yang tunduk pada mereka (AS).]
Di samping mempertimbangkan ancaman imperialis pada satu sisi dan Negara Islam/ISIS di sisi lainnya, kita tidak dapat melupakan bahwa sebuah revolusi proletar di Suriah hanya dapat menang di atas jasad kediktatoran brutal Assad. Sang diktator dan partainya memaksakan tatanan kapitalis untuk beberapa dekade, dengan metodenya yang paling brutal. Prioritas utama kita adalah dengan mengorganisir pertahanan kelas buruh, terutamanya di antara bangsa-bangsa minoritas yang teraniaya, yang bertujuan untuk melawan beragam tentara yang memperebutkan kekuasaan, kemudian memastikan pembentukan kekuatan kelas buruh, yang secara politik independen dari pesaing-pesaing borjuis reaksionernya.
[Agustus 2016: Semua pemain utama peristiwa kompleks ini adalah musuh dari kehendak kelas buruh, tetapi kami menyadari mereka tidak memiliki kaliber yang sama. Suriah bagaikan sebuah rawa-rawa dari konfrontasi yang saling terkait dan terus berubah komponen kekuatannya yang mana tidaklah selalu mudah untuk mengambil sebuah posisi militer taktis pada setiap momen tertentu. Kaum revolusioner yang jauh dari medan tempur ini menghadapi kesulitan ekstra dalam mengikuti setiap keseluruhan peristiwa. Akan menjadi kontra produktif untuk mengeluarkan sebuah posisi taktis umum bagi setiap skenario dan perselisihan berbeda yang terjadi dalam peperangan ini. Namun terdapat beberapa prinsip politik umum yang perlu digunakan kaum Marxis. Yang paling penting adalah bahwa kita menentang campur tangan kaum imperialis dan para “kaki tangan di medan” milik mereka sebagai sebuah prioritas. Ini berarti kita pada prinsipnya akan berpihak secara militer dengan rezim Assad atau kelompok-kelompok jihadis pemberontak pada kesempatan-kesempatan tertentu di mana mereka menghadapi kekuatan imperialis. Kedua, kita menentang kemajuan dari Negara Islam/ISIS dan berusaha mempertahankan kelas buruh dan bangsa-bangsa serta penganut agama minoritas dari serangan mereka (ISIS). Ketiga, kita akan menentang kedua kubu dalam peperangan yaitu diantaranya rezim Assad dan para pemberontak yang bukan merupakan bawahan dari kekuatan imperialis.]
USec dan kaum Morenoit: kolaborasi kelas di medan tempur!
Kelompok-kelompok kiri yang mengaku mempertahankan kemenangan dari “revolusi Suriah” yang semu terhadap Assad menggunakan alasan ini sebagai kedok untuk mendukung upaya dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Argumen utamanya adalah bahwa banyak satuan-satuan yang berpartisipasi di sana (FSA) bukanlah bawahan dari Koalisi Nasional Suriah (SNC). Melainkan, FSA dilihat oleh mereka sebagai sebuah koalisi dari kekuatan rakyat yang muncul dari jalanan dan protes-protes pada Arab Spring. Itulah posisi, sebagai contoh, dari Kesatuan Sekretariat Internasional Keempat (USec). Mereka menerbitkan dalam situs web mereka sebuah wawancara dengan seorang anggota dari salah satu kelompok FSA ini, yang mengklaim sebagai seorang Marxis. Ketika ditanya tentang kerjasama dengan satuan-satuan lain dari FSA, pejuang ini mengatakan:
“Di sana ada kerjasama dan koordinasi, tetapi dengan cara yang terbatas, pada satu sisi karena pandangan dan tujuan yang berseberangan, atau karena perbedaan posisi dikarenakan oleh lokasi geografis di mana para kamerad berjuang dan juga karena sifat dari organisasi-organisasinya. Pada sisi lainnya, organisasi-organisasi ini umumnya tidak menerima orang lain…”
— “Kekurangan persenjataan kami menempatkan kami pada sebuah posisi yang lemah”, 18 Januari 2015. Tersedia di: http://tinyurl.com/nhjea3b
Kesulitan koordinasi dengan satuan-satuan FSA lain seperti itu seharusnya tidak mengherankan, karena banyak dari mereka (satuan-satuan FSA) dipimpin oleh pejabat pejabat yang tunduk pada dan menjadi bawahan SNC dan teman-teman reaksionernya. Jangan kita lupakan berbagai kelompok Islamis yang juga berada di bawah payung FSA, belum lagi “satuan-satuan pemberontak” itu yang menerima pelatihan dan persenjataan langsung dari kaum imperialis dan merupakan sekutu setia mereka di medan tempur.
FSA barang tentu merupakan sebuah tentara heterogen. Namun persoalan yang pada situs web USec gagal dipertanyakan pada para pejuang “Marxis” ini, dan seharusnya menjadi persoalan pertama diajukan, yaitu: mengapa organisasi ini (yang mana USec anggap sebagai “Marxis revolusioner”) berjuang berdampingan dengan kelompok sejenis itu (Kelompok-kelompok Islamis, maupun kelompok pemberontak binaan Imperialis di FSA)? Padahal mereka mengklaim mewakili kelas buruh Suriah, mengapa mereka malah tidak mengorganisir sebuah milisi yang secara politik independen yang terpisah dari elemen reaksioner dan pro-imperialis?
Dengan cara tertentu, dilema para pejuang itu sama dengan dilema dari USec dan kelompok lainnya yang mendukung “para pemberontak” melawan Assad. Mereka enggan untuk mempertahankan sebuah posisi independen proletar, terpisah dari SNC dan FSA, sebagaimana mereka sebatas melihat kemungkinan terdekat menggulingkan rezim Assad dengan bergandengan tangan dengan kekuatan-kekuatan borjuis tersebut. Oleh itu mereka mencampakkan kemandirian kelas dan mendukung FSA, menghiasi sifat dan programnya, sekalipun mengkritik kepemimpinannya.
Sebuah kesimpulan yang sangat serupa dianut oleh beberapa kelompok lain yang juga mengklaim sebagai Trotskyisme, seperti kelompok Morenoit Liga Buruh Internasional (LIT-CI, yang dipimpin oleh PSTU Brazil) atau kelompok Persatuan Buruh Internasional (UIT-CI, yang dipimpin oleh Izquierda Socialista Argentina). Baca polemik kami sebelumnya dengan UIT pada artikel October 2012 tersedia dalam Portuguese (Morenoisme dan Posisi UIT di Suriah).
Terlepas keberadaan elemen elemen yang diperdayai oleh yang kononnya disebut politik “demokratis” di dalam jajaran FSA, ia (FSA) sebagian besarnya dikendalikan oleh para pejabat SNC dan kekuatan-kekuatan borjuis lainnya. Kemenangan tentara ini akan berakibat pada ketiadaan keuntungan bagi kelas buruh. Seolah-olah USec, LIT/IWL dan UIT meyakini sebuah “dinamika” magis yang akan menempatkan kelas buruh ke dalam kekuasaan, atau setidaknya pada posisi yang lebih baik, apabila Assad digulingkan oleh para pemberontak SNC. Kita telah menyaksikan film ini di Libya, Ukraina dan banyak kesempatan lainnya, ketika kelompok seperti ini mendukung “gerakan massa” yang memiliki kepemimpinan dan tujuan reaksioner.
Persoalan bangsa Kurdi dan pertempuran merebut Kobanî
Dalam skenario yang terlanjur rumit yaitu perang sipil Suriah, segalanya menjadi lebih pekat ketika mempertimbangkan elemen Kurdi. Bangsa Kurdi merupakan bangsa tanpa negara yang terbesar di dunia. Kita berbicara tentang sekitar 30 juta jiwa terpecah di sekitar Turki, Iran, Irak, Armenia dan sebuah wilayah kecil di Utara Suriah (Rojava). Ini (Bangsa Kurdi) merupakan warisan dari politik “devide et impera” imperialisme Inggris setelah kejatuhan Kesultanan Ottoman.
Kaum Marxis harus mempertahankan hak bangsa Kurdi, termasuk hak penentuan nasib sendiri, penggunaan bahasa mereka di sekolah-sekolah, administrasi publik dll. Dan harus menentang segala bentuk segregasi. Namun itu tidak berarti bahwa kami menganggap sebuah pemisahan teritorial wilayah Kurdi (atau pembentukan sebuah negara Kurdi) sebagai sebuah “solusi” atas persoalan kaum buruh bangsa Kurdi. Kita pastinya akan berpihak pada bangsa Kurdi dalam peperangan demi kemerdekaan atau otonomi wilayah (termasuk dukungan secara militer) jikalau hal itu memang bangsa ini inginkan.
Namun bagi Marxis pemisahan bangsa adalah kehendak yang berada di bawah perjuangan proletar. Ada masalah politik dengan prioritas tertinggi, yaitu kemerdekaan politik kelas buruh dan perlindungan bangsa-bangsa tertindas dari serangan imperialis. Berikut adalah contoh ilustrasinya. Pada 2003, ketika AS menyerang Irak, para pemimpin borjuis nasionalis Kurdistan Irak mendukung invasi imperialis terhadap rezim Saddam Hussein, dengan over janji otonomi wilayah yang lebih besar.
Kita akan mempertahankan otonomi apapun yang diperoleh bagi penduduk Kurdi. Namun ketika Peshmerga (tentara Kurdi Irak) berperang di bawah komando AS, mereka bukanlah sebuah kekuatan yang berjuang menentang Baghdad demi kemerdekaan Kurdi, melainkan kaki tangan dari proyek imperialis untuk menaklukkan keseluruhan wilayah. Jadi, kita akan menentang upaya kapitalis Kurdi mendukung invasi imperialis, sementara kita akan tetap teruskan mempertahankan hak-hak bangsa Kurdi.
Sekarang, situasi yang serupa timbul di Irak, di hadapan koalisi pimpinan AS melawan Negara Islam/ISIS. Partai-partai politik utama Kurdi di Irak, KPD (Partai Demokrat Kurdi) dan PUK (Serikat Patriotis Kurdistan), terlepas dari persaingan mereka, mempergunakan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan wilayah di Utara Irak bagi mendukung kaum imperialis.
Namun sementara peristiwa di Kurdistan Irak didominasi oleh antek-antek imperialis, di Suriah kekuatan politik yang paling berpengaruh di tengah penduduk Kurdi saat ini adalah Partai Persatuan Demokrat (PYD), yang merupakan rekan di Suriah dari Partai Buruh Kurdistan (PKK) yang dulunya-Maois, yang beroperasi di Turki. Pada 2012, pasukan Assad menarik mundur sepenuhnya dari wilayah Kurdi, daerah ini dikenal sebagai Rojava. Hal ini masih tidak jelas apakah dikarenakan keadaan militer atau percobaan demagog bagi memperoleh dukungan dari bangsa Kurdi, atau kombinasi dari kedua faktor. Rojava semenjak itu berada di bawah kendali PYD. Melalui organisasi militernya, Satuan Pelindung Rakyat (YPG), PYD bentrok baik dengan rezim Assad dan oposisi borjuis pada kesempatan-kesempatan berbeda. Sejak Negara Islam/ISIS mulai meluas ke Utara Suriah, bagaimanapun juga YPG telah memusatkan upaya mereka demi mengalahkan kelompok-kelompok fundamentalis.
Operasi ISIS di Suriah pertama kali bentrok dengan bangsa Kurdi pada Juli 2014, di Kobanî – satu dari tiga kecamatan di bawah pemerintahan PYD, di dekat perbatasan dengan Turki. Hal ini menarik perhatian dunia dan perlawanan Kurdi mendapat simpati yang luas, dikenali sebagai “kaum revolusioner yang memerangi Negara Islam/ISIS”. ISIS akhirnya berhasil dikalahkan di wilayah ini pada awal 2015, melalui sebuah kombinasi perjuangan tanpa kenal lelah bangsa Kurdi (yang selalu dalam keadaan yang kekurangan peralatan) dan pemboman oleh imperialis terhadap ISIS di wilayah ini. Kobanî dikepung berbulan-bulan, selama itu juga banyak kelompok kiri (terutamanya kelompok anarkis) membicarakan tentang “watak revolusioner” perlawanan bangsa Kurdi.
PYD merupakan sebuah partai yang dibentuk pada 2003 oleh simpatisan PKK di Suriah. Mereka diperhitungkan oleh pemerintahan Suriah sebagai sebuah factor ketidakstabilan, karena dukungan populer dan operasi bawah tanahnya di wilayah Kurdi. Sumber utama orientasi ideologisnya adalah PKK, yang dibentuk pada 1978 sebagai sebuah kelompok Maois yang mendedikasikan untuk perlawanan bersenjata melawan penindasan atas penduduk Kurdi di Turki, dan memiliki sejarah perlawanan yang panjang melawan pemerintahan Turki.
Namun tampaknya PKK tidak lagi menganut paham Maoisme dan kebiasaan Stalinisnya dalam mempersekusi orang-orang di dalam oposisi internalnya serta program “perang rakyat” yang berkutat di antara program borjuis demokratis “Demokrasi Baru” dan kemungkinan membuat ulang sebuah rezim perekonomian negara secara birokratis seperti Tiongkoknya Mao. Menurut banyak laporan, sejak penahanan Abdullah Ocalan (pemimpin bersejarahnya) pada 1999, PKK telah mengalami sebuah transformasi program menjadi apa yang disebut oleh Ocalan sendiri sebagai “konfederalisme demokratis” – yang terinspirasi dari penulis-penulis libertarian dan berupaya membangun “swa-pemerintahan rakyat” tanpa negara dalam skala kecil.
PKK masih digolongkan oleh NATO dan pemerintahan Turki sebagai sebuah “organisasi teroris”, dan kaum Marxis sedunia memiliki tugas penting untuk mempertahankan kelompok ini dari segala serangan rezim brutal Erdogan. Kecuali untuk beberapa periode gencatan senjata yang singkat (yang terakhir terjadi pada 2013), PKK telah terus berjuang melawan rezim Turki demi otonomi wilayah-wilayah Kurdi. Namun sementara sulit untuk dengan tepat seberapa terkonsolidasi pergeseran program ini (PKK terus melanjutkan sebagai sebuah organisasi bawah tanah), tampaknya telah betul-betul mengubah paham yang dianut kelompok ini.
Trotskyis mempercayai bahwa buruh dan kaum tani memerlukan sebuah bentuk kekuasaan politik yang berdasarkan pada organisasi mereka sendiri yang bertujuan untuk menghancurkan militer borjuasi, dominasi politik dan ekonomi dan mencegah upaya kaum kapitalis untuk mencoba mengembalikan kekuasaannya setelah kemenangan pemberontakan diraih. “Pemerintahan buruh” yang otentik ini harus mencakup keseluruhan wilayah dan berlandaskan kepada wakil-wakil yang dipilih secara demokratis oleh dewan kaum buruh dan tani dan dapat dilucuti jabatannya oleh dewan buruh-tani yang sama yang memilih mereka. Inilah satu-satunya rumusan yang mampu menyeimbangkan sifat lokal dari pengelolaan demokrasi langsung dengan kehendak kelas buruh pada skala besar di semua area.
Tidak kalah pentingnya, pemerintahan seperti ini harus memberikan bahan-bahan internationalis dan bantuan politis bagi para buruh yang berjuang di negeri-negeri lain untuk mengalahkan borjuasi “mereka” sendiri. Sosialisme tidak dapat diraih pada skala nasional saja dan, terutamanya, tidak ada pemerintahan buruh yang dapat bertahan terisolir di dalam dunia yang didominasi oleh imperialisme. Program politik PKK/PYD tampaknya mengacuhkan kepentingan pembangunan “kediktatoran proletar” ini yang berlandaskan pada sebuah perekonomian kolektif dan kekuatan militer buruh yang disentralisir.
Seperti yang telah disinggung, PYD memiliki kendali di wilayah Rojava. Pada awal 2014 mereka mengadopsi sebuah “Piagam Kontrak Sosial Rojava,” dan dokumen konstitusi ini tidak menyebutkan sosialisme, kontrol kolektif atas alat-alat produksi atau demokrasi buruh. Malahan, mereka mencampuradukkan gabungan partisipasi masyarakat dan pemeliharaan kepemilikan swasta. Pasal 41 menjelaskan bahwa “Setiap orang memiliki hak untuk memiliki properti sendiri dan kepemilikan personal akan dijamin,” sementara Pasal 42 mengatakan bahwa sistem perekonomian bertujuan untuk “memastikan ekonomi partisipatif sementara mendorong kompetisi sesuai dengan prinsip pengelolaan demokratis ‘Bagi masing-masing menurut pekerjaan masing-masing’.”
[Januari 2016: Menyusul kekalahan ISIS, PYD mengonsolidasikan kekuatannya di wilayah di mana semua partai-partai dan pemerintahan borjuis telah dikalahkan atau menarik diri. PYD bukanlah sebuah partai borjuis, melainkan sebuah organisasi yang berlandaskan pada mobilisasi kaum buruh dan tani di wilayah tersebut. Keadaan ini amat sangat memungkinkan bagi pembentukan sebuah pemerintahan proletar, dengan control demokratis kaum buruh dan tani atas alat-alat produksi, sistem politis dan ketentaraan. Namun, PYD tidak memiliki kejelasan mengenai sifat rezim yang mereka ingin dirikan. Terlepas dari ajaran-ajaran demokratis PYD, pemeliharaan properti kapitalis memberikan batas jelas bagi perkembangannya lebih lanjut, dikarenakan kesenjangan sosial dan ketiadaan demokrasi langsung kaum buruh. Mengingat apa yang telah terjadi sampai kala ini, tampaknya bahwa PYD tidak akan bercerai dari borjuasi dengan cara yang pasti. Jajaran mereka, termasuk para pejuang buruh dan tani di wilayah Rojava, harus mengusahakan sebuah kepemimpinan revolusioner dan menolak kebimbangan dan khayalan PYD kala ini atas “jalan ketiga” di antara kapitalisme dan kekuasaan buruh.]
Selama dan setelah pertempuran melawan Negara Islam/ISIS di Kobanî, PYD turut menyebarkan khayalan berbahaya mengenai satuan-satuan Peshmerga dari wilayah pemerintahan Kurdi di Irak (di mana dari situ mereka mendapatkan persenjataan) dan mengenai campur tangan serangan udara AS, PYD mengeluarkan sebuah pernyataan publik “berterima kasih” pada mereka (AS) atas bantuan serangan mereka melawan ISIS, yang mana selama itu PYD memberikan maklumat taktis militer kepada AS (seperti ke mana harus membom). Pemimpin PYD, Saleh Muslim, mengungkapkan sikap ini pada beberapa pernyataannya kepada pers:
“Menurut Muslim, koalisis internasional ‘telah menyelamatkan banyak nyawa warga sipil’ dalam peperangan melawan ISIS. […] Dia juga berterima kasih kepada koalisi internasional yang dipimpin AS bagi membantu bangsa Kurdi dalam penderitaan mereka dan bagi menolong pasukan YPG menentang kelompok radikal ISIS: ‘Operasi seperti ini memperkuat hubungan antara bangsa Kurdi dan negara-negara yang membela demokrasi dan perdamaian’, tukas Muslim.”
–– Kurdi Suriah mendesak koalisi pimpinan AS untuk meningkatkan serangan anti-ISIS di Kobanî, 13 Oktober 2014. Tersedia di: http://tinyurl.com/pkzaufb
Kita yakin bahwa para Marxis harus mempertahankan Kobanî melawan kemajuan reaksioner fundamentalis ISIS. Apa yang sangat diperlukan kaum buruh dan aktivis dengan kehendak revolusioner Rojava, bagaimanapun, adalah sebuah orientasi politis yang tidak dapat ditawarkan oleh kepemimpinan mereka kala ini. Ini penting bagi mencegah perkembangan atas harapan dan khayalan terhadap watak pemerintahan borjuis Kurdistan Irak dan pemboman oleh imperialis.
AS berniat untuk mengekang perluasan ISIS di Kobanî demi tujuan reaksioner mereka sendiri, dan bukannya “menolong” orang-orang Kurdi. Pemerintahan AS tentunya bukan termasuk dalam pendukung “demokrasi dan perdamaian” di dunia. Tidak boleh kita lupakan bahwa Washington adalah sekutu terkuat rezim Turki milik Erdogan, yang telah melakukan segala cara demi mencegah PYD mendapatkan pertolongan apapun dari markas-markas PKK di Turki. Kami tidak mengecam PYD karena mendapatkan persenjataan dari sumber manapun yang menawari mereka (asalkan tidak berarti memberikan konsesi-konsesi politik). Tentunya mereka memiliki hak untuk secara taktis diuntungkan dari faktanya bahwa ISIS tengah menjadi sasaran oleh kaum imperialis, asalkan mereka mendapat kejelasan tentang latar belakang pemboman.
[Agustus 2016: Sejak Januari 2016, ketika kami awalnya menerbitkan artikel ini, kejadian atas PYD ini telah semakin mendalam. Pada awal tahun ini mereka bekerjasama dengan angkatan udara AS atas tujuan melebarkan ruang ke wilayah non Kurdi Raqqa, satu dari beberapa benteng utama ISIS. Kala ini mereka bekerjasama dengan Assad dalam pengepungan Aleppo dan dengan pasukan imperialist di Manbiji, kota-kota yang sepenuhnya telah hancur, dengan jumlah korban warga sipil yang tinggi. Selain itu, dengan tujuan menyapu ISIS dari Rojava, PYD bergabung dengan beberapa partai dan organisasi lain ketika mereka membentuk “Pasukan Suriah Demokratis”, sebuah koalisi militer yang mana YPG merupakan satuan utamanya, serta “Dewan Demokratis Suriah”, sebuah kesatuan yang mengklaim sebagai sebuah “federasi, demokratis dan sekuler Suriah” – sebuah langkah yang jelas sebuah kolaborasi kelas. Jika bukan karena ketidakpercayaan imperialis kepada PYD, DSF/SDC kemungkinan akan menjadi sekutu yang sangat cocok bagi mereka di medan perang.]
Liga Spartakus: sektarianisme di Kobanî
Menunjuk pada posisi oportunis di kepemimpinan PYD, beberapa kelompok kiri berpihak kepada Negara Islam/ISIS di Kobanî (!). Ini kasus dari sekte yang merosot (hampir) menyamar sebagai organisasi Trotskyis yaitu Liga Spartakus (SL) dari Amerika Serikat dan Liga Komunis Internasionalnya (ICL). Mereka menerangkan alasan mereka atas pandangan absurd mereka itu sebagai berikut:
“[…] Pasukan pemerintah Irak dan peshmerga Kurdi di Irak sekali lagi melakukan operasi militer bersama dengan AS, sebagaimana mereka telah lakukan bertahun-tahun di bawah pendudukan. Baru-baru ini, nasionalis Kurdi Suriah telah menyepakati aliansi pengkhianatan dengan AS dalam peperangan merebut Kobanî di utara Suriah dengan bertindak sebagai pengintai bom imperialis dan jika tidak malah mengkoordinasi pergerakan militer. Nyatanya bahwa semua pasukan ini adalah ‘kaki tangan di medan tempur’ bagi campur tangan imperialis berarti bahwa Marxis revolusioner berpihak secara militer dengan ISIS ketika mereka mengincar kaum imperialis dan proxy mereka, termasuk nasionalis Kurdi Suriah, peshmerga, pemerintahan Baghdad dan milisi Syiahnya.”
— Hentikan Perang AS Melawan ISIS!, 31 Oktober 2014. Tautan: http://www.icl-fi.org/english/wv/1055/isis.html
Dalam pergerakannya menaklukan Kobanî, Negara Islam/ISIS bukan memerangi benteng imperialis, karena di sana tidak ada pasukan AS di darat, melainkan untuk memperluas kekuasaannya di area Kurdi. YPG adalah satu-satunya pasukan yang memerangi kelompok fundamentalis dengan persenjataan di tangan mereka di Kobanî dan, terlepas dari adanya kebimbangan dari kepemimpinannya, mereka tidak dapat benar-benar dianggap sebagai “proxy” AS. YPG melawan pengepungan oleh ISIS di Kobanî untuk beberapa bulan bahkan sebelum kaum imperialis melibatkan diri.
Kaum revolusioner harus mengkritik khayalan yang disebarkan oleh PYD dan ucapan “terima kasih” mereka terhadap koalisi imperialis internasional yang juga penuh khayalan. Namun hal yang utama dalam menentukan harus memilih pihak mana di Kobanî yaitu apakah posisi dan kolaborasi taktis militer dengan kaum imperialis ini menjadikan PYD sebuah pasukan di bawah komando Amerika Serikat (Dimana mereka sebenarnya sedang berusaha untuk menundukkan Suriah).
Kami meyakini bahwa militer AS mengambil keuntungan dari konflik di Kobanî ini untuk membom dan melemahkan ISIS. Namun mereka tidak dapat menggunakan PYD, di mana mereka masih menganggap PYD sebagai organ teroris, juga sebagai alat untuk mengendalikan Utara Suriah. Setelah peperangan ini, AS tidak mampu mengambil kendali nyata apapun atas Rojava. PYD telah diuntungkan dari pemboman imperialis, tetapi tidak digabungkan dan dijadikan bawahan dari upaya militer imperialis di wilayah ini.
[Agustus 2016: memperkuat pernyataan tadi, pada babak ketiga pertemuan perdamaian yang disponsori oleh kaum imperialis di Jenewa baru-baru ini, tidak ada perwakilan PYD-Rojava yang diundang, dikarenakan ketidakpercayaan AS pada mereka, yang mana menyebabkan perwakilan Dewan Demokratis Suriah mengundurkan diri dari undangan yang mereka terima.]
Oleh karena itu, pertempuran merebut Kobanî tidak melibatkan agen-agen AS dalam melawan Negara Islam/ISIS (sebagaimana Liga Spartakus gambarkan), melainkan justru melibatkan pasukan perlawanan Kurdi yang memerangi kaum fundamentalis reaksioner, sembari berkoordinasi (tetapi tidak menjadi bawahan) dengan pihak pembom AS. Dalam perjuangan seperti ini, kaum revolusioner perlu berpihak: dengan PYD/YPG dalam melawan ISIS, sementara pada saat yang sama tidak kalah pentingnya memperingatkan kaum buruh dan aktivis Suriah dan Kurdi untuk tidak menganggap, walau hanya sebentar, bahwa AS atau Peshmerga dapat menjadi “sekutu” mereka.
Apa yang ditunjukkan sikap ini adalah bahwa Liga Spartakus telah sepenuhnya kehilangan kewarasan rasionalnya (kalau mereka pernah memilikinya). Kemenangan YPG di Rojava tidak lah sama dengan kemenangan para pemberontak di Libya pada 2011. Ini bukan lah sebuah kudeta dan pemberontakan militer yang digiring dan dikoordinir oleh kaum imperialis bagi menempatkan rezim boneka ke dalam kekuasaan. Hasilnya adalah terpeliharanya sebuah partai Kurdi yang berakar pada rakyat jelata, yang telah naik ke tampuk kekuasaan sebagai akibat dari dinamika perang sipil yang kompleks. Kemenangan perlawanan menghadapi ISIS merupakan langkah penting demi mencegah perkembangan reaksi fundamentalis.
Perjuangkan pertahanan proletar di tengah perang sipil dan bentuk partai buruh revolusioner!
Menghadapi sektarianisme agama yang muncul di tengah jalannya perang sipil di Irak dan Suriah (melibatkan persaingan Sunni/Syiah) dan terjadinya pertumpahan darah di kedua pihak, di sini terdapat ruang bagi timbulnya sebuah perlawanan non-sektarian dari kelas buruh melawan kejahatan-kejahatan ini. Jika dibarengi dengan gejolak revolusioner untuk mengusir kaum imperialis dari Timur Tengah, lalu dibarengi dengan pencegahan kemenangan reaksi fundamentalis dan upaya mempertahankan bangsa Kurdi dan etnik minoritas lainnya, posisi ini memiliki potensi untuk berkembang secara pesat di antara kaum buruh yang tidak melihat jalan keluar dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing merebut kekuasaan.
Pada kala ini belum ada partai massa kelas buruh di Suriah (bahkan yang reformis sekalipun), dikarenakan penindasan selama dekade oleh rezim Assad. Satu-satunya federasi serikat yang legal sepenuhnya tunduk pada struktur negara dan dikendalikan oleh Partai Ba’ath Sosialis Arab (partainya rezim). Sebuah posisi yang kontras dengan yang saat ini tampak dalam perang sipil akan segera mendapat simpati dari kelas buruh, bahkan jika awalnya hanya diwakili oleh sebuah kelompok kecil yang solid secara politik dengan kader-kader yang berdedikasi. Di sisi lain, bila menyanjung kekuatan kekuatan besar manapun dalam pertikaian ini justru dapat membawa malapetaka oportunis.
Aksi solidaritas buruh internationalis merupakan tolok ukur dari Trotskyisme dan akan menjadi penting untuk mempersiapkan kaum buruh dan tani Suriah, Irak, Turki dan Kurdi melawan kelas penguasa “mereka” masing-masing dan intrik imperialis yang kejam. Satu-satunya cara memastikan perdamaian jangka panjang di wilayah ini adalah melalui kemenangan revolusi sosialis yang akan mengakhiri pesaing-pesaing kapitalis reaksioner, persaingan antar klan dan ketergantungan terus-menerus mereka pada aliansi penuh khianat dengan kaum imperialis. Hasil baik ini akan hadir dalam pembentukan sebuah federasi sosialis di Timur Tengah.
Oleh karenanya, pembangunan sebuah partai buruh revolusioner di Suriah merupakan sebuah persoalan yang mendesak. Dengan sebuah program sosialis sepenuhnya melalui kontrol buruh atas industri-industri utama dan revolusi agraria, sebuah organisasi Trotskyis di Suriah juga akan memperjuangkan suatu daftar tuntutan-tuntutan demokratis melawan rezim dan musuh-musuh reaksionernya. Hal ini akan menunjukkan hasrat tanpa kompromi kaum revolusioner untuk membangun sebuah demokrasi proletar, sebagai lawan dari janji-janji “demokratis” kaum imperialis yang palsu.