Tumbuhkan Benih-benih Proletar Marxis Internasional!

Program ini asalnya disusun dan diterbitkan oleh kawan-kawan di Reagrupamento Revolucionário pada September 2020. Tersedia dalam bahasa asalnya Portugis di sini. Angkatan Bolshevik Revolusioner Internasionalis bersepakat dengan gagasan dalam dokumen ini yang telah disusun ulang oleh kawan-kawan di Bolshevik-Leninist. Di sini kami terbitkan adaptasi konteks dan regional Indonesia.

Indeks

Bab 1 – Periode Historis yang Kita Alami
Bab 2 – Perlunya Kelompok Propaganda yang Militan
Bab 3 – Partai dan Gerakan
Bab 4 – Gerakan Serikat Buruh
Bab 5 – Persoalan Ekologis dan Persoalan Tanah
Bab 6 – Gerakan-gerakan Menentang Penindasan
Bab 7 – Marxisme dan Negara
Bab 8 – Demokrasi Borjuis dan Kaum Proletar
Bab 9 – Imperialisme
Bab 10 – Revolusi Permanen
Bab 11 – Negara Buruh yang Terbirokratisasi dan Tugas-tugas Zaman Peralihan
Bab 12 – Warisan Teoretis dan Perencanaan yang Kami Anut

Bab 1 – Periode Historis yang Kita Alami

Krisis ekonomi 2008 membuka periode baru dalam perjuangan kelas internasional. Peperangan kontra-revolusioner global kaum kapitalis dimulai pada pertengahan 1970-an dan memuncak pada 1991, dengan penghancuran terakhir atas properti kolektif dan sisa-sisa kemenangan Revolusi Rusia lainnya di negeri-negeri Pakta Warsawa. Bagi pekerja di seluruh dunia, kemenangan ini mewakili keberadaan beberapa jalan selain daripada sistem kapitalis. Penghancuran mereka, bersama dengan penjarahan dan penaklukan ekonomi yang meluas hampir seperlima dari muka bumi ini oleh kaum borjuasi imperialis, merupakan pukulan moral yang mengerikan bagi organisasi yang mengaku sosialis, baik pendukung birokrasi Soviet maupun bukan. Ia juga telah menyelamatkan kapitalisme dari krisis besar sejak hampir dua dekade.

Sementara kaum kiri yang seolah-olah revolusioner pada saat itu telah terfragmentasi dan dikacaukan oleh kemerosotan berturut-turut dari Internasionale Kedua, Ketiga dan Keempat, atmosfer kekalahan yang mengikutinya memastikan peminggiran kelompok-kelompok sosialis yang masih memiliki arti penting. Ini adalah perdamaian reaksioner, persyaratannya dipaksakan oleh hegemoni ideologis dan moncong senjata kelas kapitalis yang merasa cukup percaya diri untuk mengumumkan “Akhir Sejarah” dan “Kematian Komunisme”. Baik secara terbuka maupun dalam praktik mayoritas yang mengaku sosialis telah meninggalkan dasar-dasar Marxisme, menyerahkan diri mereka pada peran yang mencoba untuk memperbaiki aspek kapitalisme ini atau itu yang lebih bermasalah. Hanya segelintir kaum Marxis revolusioner yang tersisa, yang tidak mampu melakukan lebih dari sekadar mencoba memperjuangkan cita-cita yang mereka tolak untuk tinggalkan.

Periode ini masih belum berakhir. Namun, kekecewaan dan pemaparan yang jelas tentang makna kapitalisme sejak krisis yang dimulai pada tahun 2008 di pusat-pusat imperialis juga menandai kembalinya perjuangan kelas sebagai fenomena yang diakui dan tersebar luas. Dekade terakhir ditandai dengan serangan hebat oleh kaum borjuasi terhadap kondisi hidup dan kerja yang sudah memburuk di seluruh dunia, melalui sarana “langkah-langkah penghematan” dan “reformasi” terhadap pekerja untuk mentransfer sumber daya yang besarnya belum pernah terjadi sebelumnya kepada kaum kapitalis. Dalam kondisi inilah perlawanan kaum pekerja dan kaum tertindas diorganisir melawan serangan kapitalis, umumnya tanpa karakter sosialis pada kepemimpinannya. Sebagai akibatnya, pada awal dari apa yang tampak sebagai krisis ekonomi yang lebih dalam, pengaruh organisasi-organisasi yang seolah-olah sosialis mengalami pertumbuhan kembali meskipun sejauh ini masih dalam keadaan tidak berbentuk. Akibatnya, tradisi organisasi dan politik Marxisme tidak diadopsi dan diperbarui.

Di tiap negara, tingkat organisasi dan komposisi politik tertentu dari kelas pekerja telah menghasilkan ekspresi perjuangan kelas yang berbeda, baik dalam bentuk dan caranya, maupun dalam intensitasnya. Apa yang menyatukan gerakan-gerakan ini adalah karakter ekonomi kapitalis yang global dan saling terkait serta poros perlawanan umum terhadap penjarahan borjuis. Kejatuhan penuh petaka dari blok Soviet oleh kontra-revolusi kapitalis tidak akan sebegitu fatal sekarang jikalau kita masih mewarisi tradisi Marxis dari abad ke-20 yang konsisten dengan otoritas praktik yang jelas di mana para pekerja dapat mengorganisir dan memobilisasi diri mereka sendiri. Tetapi karena hal tadi bukanlah kenyataan, periode pasca-Soviet hanya memperburuk keadaan kebingungan total, fragmentasi, demoralisasi dan adaptasi gerakan buruh ke “kemungkinanisme”, yaitu sesuatu yang dianggap memungkinkan oleh kelas penguasa, ciri-ciri yang sudah menjadi dominan di antara organisasi-organisasi kiri.

Perlawanan berturut-turut terjadi di seluruh dunia, yang tidak berkembang menjadi revolusi karena tiadanya perspektif Marxis dalam praktik politik dan organisasi buruh dalam perjuangannya. Ketiadaan kepemimpinan, perspektif, dan tradisi sosialis revolusioner dalam gerakan adalah yang membuatnya mustahil melangkah maju.

Di antara massa, Sosialisme terus diidentikkan secara bersamaan dengan kediktatoran birokrasi, pemerintahan borjuis kiri, atau “negara kesejahteraan”. Kemunculan tokoh-tokoh seperti Hugo Chávez dan “Sosialisme abad ke-21”-nya di awal abad; Bernie Sanders dan “Sosialisme”-nya yang meniru Sosial-Demokrasi Eropa, yang berbasis di salah satu partai kembar dari Imperialisme Amerika; dan generasi propagandis dan pemugar Stalin dan metodenya untuk “membangun sosialisme” di Uni Soviet menambah kebingungan tersebut. Kepeloporan kelas pekerja pada periode kita dicirikan oleh fragmentasi politik dan kebingungan ideologis, dengan organisasi-organisasi yang mengaku sebagai sosialis menggemakan gagasan-gagasan palsu semacam itu. Pembelajaran tentang perjuangan masa lalu seringkali tidak menyelesaikan perbedaan politik, melainkan mengaburkannya, karena warisan sejarah yang organisasi-organisasi akui bertentangan langsung dengan tindakan konkret mereka pada masa sekarang, bukan saja pada persoalan khusus, melainkan pada persoalan mendasar tentang revolusi dan perjuangan kelas.

Gerakan kelas pekerja menderita dari kurangnya kejelasan ideologis mengenai tugas dan metode yang dibutuhkan. Kelompok kubu-kubu yang berseberangan di kiri terkadang mengklaim tradisi yang sama, sementara ada partai di mana anggota dari semua jenis tradisi hidup berdampingan, tanpa neraca keseimbangan. Peristiwa-peristiwa dekade terakhir telah membuktikan hal ini benar, tetapi mereka tidak berbuat banyak untuk memperbaiki atau menyelesaikan situasi tersebut. Sebaliknya: organisasi yang seolah-olah sosialis ambruk dan pecah, kadang-kadang tanpa putusan politik yang konsisten, menyebabkan kebingungan lebih lanjut dalam gerakan buruh; organisasi-organisasi bergabung tanpa kejelasan program; mereka beralih ke posisi yang berlawanan dengan yang sebelumnya mereka klaim untuk dipertahankan, bagai dansa yang sama sekali tidak rasional dan tidak dapat dijelaskan dari sudut pandang kebutuhan mendesak perjuangan untuk sosialisme.

Generasi baru sosialis dihadapkan pada krisis yang sangat besar. Untuk menyelesaikannya berdasarkan pertimbangan dari apa yang diwarisi dari abad ke-20 dan periode reaksi yang panjang ini, kita perlu membangun kembali perspektif Marxis dan internasionalis yang konsisten. Penting untuk memulai dengan menegaskan kembali yang pokok: relevansi Marxisme, perjuangan kelas dan perlunya sebuah revolusi yang akan membangun kediktatoran proletariat. Demi mengatasi krisis kepemimpinan dalam gerakan buruh yang sedang dihadapi oleh kaum revolusioner, pertama-tama kita harus jelas tentang isu-isu mendasar yang kita hadapi. Manifesto perancangan ini bertujuan untuk menjadi titik awal perdebatan dengan kaum revolusioner lainnya tentang tugas-tugas politik dan metode yang dibutuhkan dari kaum Marxis demi revolusi proletar.

Terlepas dari semua yang telah dan masih diulang tak habis-habis oleh para propagandis borjuis tentang “Kematian Komunisme”, dan mereka yang bahkan menyangkal adanya perjuangan kelas, meskipun ada perubahan signifikan yang perlu diperhitungkan, sistem sosial-ekonomi global abad ke-21 masih merupakan abad yang hendak diperangi oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis tahun 1848. Marxisme tidak akan ketinggalan zaman sampai kapitalisme dikalahkan. Bagi sebagian besar bumi ini, dekade terakhir telah menjadi salah satu pemiskinan mutlak dan serangan mengerikan terhadap kondisi material pekerja demi memaksimalkan keuntungan bagi kelas kapitalis. Krisis iklim yang disebabkan oleh kapitalisme menggedor pintu kita dengan keprihatinan yang makin meningkat. Kudeta dan perang semakin menjadi bagian dari kosakata sehari-hari kaum buruh di hadapan hiruk pikuk kekuasaan imperialis demi mempertahankan dominasi mereka. Hanya kelas pekerja terorganisir yang menganut pelajaran penting dari Marxisme dan perjuangan kelas yang dapat mengakhiri masa depan kelam yang diteruskan oleh kekuasaan borjuis bagi umat manusia.

Bab 2 – Perlunya Kelompok Propaganda yang Militan

Sebagian besar organisasi yang mengaku sebagai sosialis tidak lagi melihat mengalahkan kapitalisme sebagai perspektif sejarah yang konkret dalam kerja sehari-hari mereka, melainkan berbicara tentang Sosialisme sebagai perspektif abstrak atau memberikannya basa-basi pada acara-acara khusus. Dalam praktik mereka baik secara terbuka maupun halus, mereka beradaptasi untuk mempertahankan negara borjuis dan mempromosikan yang “kurang jahat” dari partai atau politisi kapitalis yang berlagak kiri. Ekspektasi dan ilusi yang ditempatkan ke dalam varian “sosialisme” borjuis dalam dua dekade terakhir hanyalah salah satu contohnya, bahkan ketika politisi semacam itu jelas-jelas membela penghisapan upah, dominasi imperialis di seluruh dunia, dan pasukan represif negara kapitalis.

Pengadaptasian kaum kiri pada sistem kapitalis tidak terbatas pada kiri borjuis atau sosial demokrat, tetapi termasuk organisasi yang secara kontradiktif mengklaim sebagai revolusioner. Dekade isolasi, reaksi dan kekalahan telah membentuk organisasi yang ada. Dinamika ini sudah ada pada abad ke-20, tetapi gelombang kekalahan berikutnya menghancurkan partai dan kelompok dan membuat banyak kaum yang seolah-olah sosialis berlindung pada “solusi” yang diadaptasi untuk pemerintahan kapitalis, asalkan solusinya tampak lebih “realistis”. Pada abad ke-21, sinisme, “kemungkinanisme”, dan mentalitas serba instan tersebar luas di antara kaum yang mengakui dirinya revolusioner.

Adaptasi terhadap partai-partai, tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga borjuasi mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan situasi politik dan tekanan-tekanan yang dialami oleh organisasi-organisasi tertentu. Banyak yang beradaptasi dengan mereka sambil secara kontradiktif mengklaim mendasarkan tindakan mereka pada pelajaran bersejarah Marxisme revolusioner. Tetapi dukungan untuk pengembangan ilusi, mempromosikan atau bahkan meleburkan organisasi-organisasi ini ke dalam lingkup pengaruh politisi, partai dan lembaga borjuis adalah sepenuhnya bertentangan dengan kebutuhan akan gerakan proletar yang independen, sebuah prasyarat penting dari perjuangan revolusioner. “Gerakan proletar adalah gerakan yang sadar-diri dan berdiri sendiri dari mayoritas yang melimpah, untuk kepentingan mayoritas yang melimpah.” (Manifesto Partai Komunis)

Adaptasi politik dari elemen kelas pekerja yang paling sadar dan aktif – kepeloporannya – terhadap kapitalisme memiliki akar sosial dan sejarah. Komposisi sosial yang dominan dari sebagian besar organisasi sosialis – berkat ide-ide para pemimpin mereka dan keadaan gerakan yang tidak terorganisir dan terdemoralisasi secara umum – adalah borjuis kecil, atau terbatas pada strata atas proletariat, yang menjadikannya lebih sulit diceraikan dari landasan sosial dan pondasi ideologi rezim borjuis. Adaptasi ini menghasilkan pengadopsian oleh garda depan suatu kesadaran yang tipikal dari kelas lain, borjuasi kecil. Terlepas dari kritik terhadap tekanan dan serangan dari sistem, borjuasi kecil umumnya mengharapkan situasi mereka membaik dengan memohon kepada negara borjuis dan sembari menyetujui reformasi, menolak metode revolusioner dan transformasi total moda produksi.

Secara internal, banyak organisasi meniru metode organisasi borjuis kecil. Dalam beberapa kasus, ada kekurangan disiplin militan, keterpisahan dari kebutuhan akan pengorganisiran kelas buruh. Dalam kasus lain, mereka mereproduksi disiplin komando yang khas dari bos kecil. Mereka mengembangkan kepemimpinan permanen yang mencengkeram yang tidak berusaha menaikkan anggota kelompok ke partisipasi penuh: tidak dengan membantu mereka mengembangkan pendidikan teoretis dan politik mereka, maupun melalui diskusi konsekuen dan demokratis tentang perbedaan politik dan metodologis yang muncul. Tidak jarang organisasi-organisasi ini mencoba melatih militan mereka hanya sebatas penjual koran, tanpa mempersiapkan mereka mencapai pemikiran dan elaborasi politik yang otonom.

Kami ingin menumbuhkan benih Marxis yang konsisten dan solid yang mampu memperjuangkan pembangunan partai revolusioner. Karena kelas pekerja tidak homogen secara politik – dan ideologi borjuis memainkan peran yang sangat kuat dalam menanamkan pesimisme, penerimaan status quo, sikap apatis, ilusi pada politisi borjuis, dan serangkaian gagasan reaksioner dalam kelas ini – tidak semua pekerja harus menjadi bagian dari partai revolusioner, jika tidak, ia tidak akan menjadi partai revolusioner. Kami membela partai kepeloporan: sebuah partai yang terdiri dari segmen kelas yang telah mampu memahami perlunya organisasi buruh untuk mengalahkan kapitalisme dan membangun sosialisme. kepeloporan harus terhubung dengan kelasnya, terus-menerus mendesak perluasan batasnya dan lingkaran pengaruhnya.

Salah satu tugas terpenting di periode berikutnya adalah membangun benih pekerja Marxis internasional, yang akan mengintervensi untuk menyuburkan regenerasi gerakan revolusioner. Ini berarti menyusun kembali elemen dan kelompok di sekeliling program yang solid dan melawan kerusakan politik, organisasi dan bahkan moral yang terbentuk dalam hegemoni ideologi borjuis kecil di antara mereka yang mengaku sebagai sosialis, dan melawan adaptasi organisasi-organisasi sosialis terhadap borjuasi dengan cara yang berbeda. Benih ini akan berusaha mengintervensi sebagai bagian yang dirumuskan dengan baik dalam gerakan kelas pekerja, untuk melakukan penyatuan dengan tendensi paling dinamis yang berkembang menuju ide-ide revolusioner, dan juga untuk merekrut individu pekerja yang mendekati perspektifnya.

Ia harus berbentuk kelompok propaganda yang militan. Ini berarti bahwa ia harus menggabungkan tugas demarkasi programatik, diskusi dan polemik ideologis dengan kelompok lain, dengan pendidikan serius para militan revolusioner yang mampu berpikir sendiri, dan pembangunan serta penguatan perjuangan kaum buruh dan kaum tertindas. Benih yang ketika diberi kesempatan untuk memimpin, membangun keteladanan perjuangan yang memutus siklus kekalahan. Dan itu mengakhiri penguatan oportunisme melalui siklus panjang ini. Dengan memperhatikan proporsi jumlahnya dan situasinya saat ini, benih ini perlu melakukan segala upaya yang mungkin demi memantapkan dirinya dan membangun dirinya sendiri di antara sektor-sektor proletariat yang paling strategis di setiap tempat keberadaannya.

Pelatihan teoretis dan politik militan adalah fundamental untuk membangun bukan hanya organisasi yang demokratis dan fungsional, tetapi juga untuk memberikan calon partai Marxis masa depan kerangka ideologis dan praktis sebagai pemimpin revolusi, bukan sebagai penjual koran terlatih, pengurus serikat buruh atau militan belaka yang dididik dalam mazhab “kemungkinanisme”.

Sentralisme demokratis adalah prinsip politik, tetapi tidak memiliki penerapan praktik yang abadi terlepas dari kondisi tertentu. Alih-alih mengulangi rumusan berusia 100 tahun yang diadopsi dalam kondisi yang sangat berbeda, prinsip-prinsipnya perlu dipulihkan dengan mengakui bahwa organisasi Marxis adalah organisasi perjuangan, yang perlu memiliki kesatuan aksi yang kuat, dan juga organisasi yang sadar sejarah, di mana harus ada keterbukaan untuk memperdebatkan perbedaan politik dan untuk pembentukan tendensi sementara. Di satu sisi jika dilakukan dengan kejelasan dan kesetiaan dan di sisi lain tanpa metode birokrasi yang mengecualikan atau membungkam perdebatan, ini adalah proses yang cenderung sangat mendidik bagi anggota organisasi.

Sebuah organisasi dengan keyakinan yang rapuh pada programnya sendiri sehingga tidak mampu menyelesaikan perbedaan internalnya melalui perdebatan politik, dan sebaliknya perlu menggunakan metode birokratis organisasi, sama sekali tidak akan mampu berkontribusi untuk membangun masyarakat di mana mayoritas pekerja berpartisipasi aktif dalam proses politik. Pada saat yang sama, sebuah organisasi tanpa komitmen dari para militannya untuk bertindak sesuai dengan keputusan mayoritas atau untuk mengikuti kepemimpinan yang dipilih secara demokratis dan berwenang (tidak termasuk kepemimpinan yang abusif dan birokratis), tidak akan mampu mengambil langkah tegas dalam perjuangan kelas.

Bab 3 – Partai dan Gerakan

Benih atau organisasi Marxis yang tidak mengarahkan perhatian dan energinya pada perjuangan dan organisasi gerakan buruh yang ada akan terkutuk menjadi sebuah sekte, bahkan jika itu bukan niat para anggotanya. Betapapun rapuh dan merosotnya organisasi kelas pekerja, mengabaikan keberadaan mereka berarti menyerah kepada “mulai dari awal”. Kaum Marxis harus melakukan aktivitas propaganda mereka sendiri dan agitasi, pertemuan, demonstrasi, selebaran mereka sendiri. Namun elemen kunci dari aktivitas mereka haruslah mengintervensi dalam organisasi proletariat yang ada.

Terutama bagi sebuah organisasi muda, menanamkan akarnya dalam gerakan buruh adalah tugas terpenting untuk mencegah menjadi sebuah sekte, atau menjadi terbatas pada lingkaran intelektual dan borjuis kecil. Ini tidak berarti bahwa kaum intelektual tidak dapat memainkan peran penting dalam membangun organisasi, tetapi mata dan usaha mereka harus diarahkan pada gerakan proletar.

Bentuk organisasi gerakan buruh yang paling umum pada masa perjuangan yang lemah adalah gerakan serikat. Selain itu, ada bentuk-bentuk organisasi lain, dan juga harus mendapat perhatian dari kaum Marxis, seperti perjuangan menuntut tempat tinggal yang layak. Dalam kasus seperti itu, organisasi-organisasi ini tidak hanya terdiri dari proletariat, dan kaum Marxis harus menekankan kepentingan kelas proletar dalam intervensi mereka.

Intervensi kaum Marxis dalam gerakan-gerakan lain tidak boleh dipandu oleh likuidasionisme atau “aparatisme”. Kaum Marxis tidak memasuki gerakan untuk “menari mengikuti irama”, melainkan untuk berenang melawan arus. Sudah menjadi fakta bahwa kita harus mendukung perjuangan buruh untuk perbaikan kondisi material kita, betapapun kecil dan terbatasnya. Namun pada masing-masing hal itu, penting untuk selalu menunjukkan bahwa mengalahkan sistem kapitalis adalah tujuan utama kelas pekerja di zaman kita.

Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui penggunaan tuntutan transisional. Ini adalah tuntutan-tuntutan yang dengan sendirinya mengandung unsur-unsur transisi ke sosialisme. Mereka tidak sama dengan sekadar memperjuangkan revolusi atau sosialisme. Tuntutan-tuntutan ini berarti menghubungkan kebutuhan dan perjuangan pekerja saat ini di setiap saat dan dalam setiap konteks dengan solusi yang hanya dapat dicapai oleh masyarakat yang bertransisi ke sosialisme, yang diatur oleh kediktatoran proletariat. Untuk sementara dan sampai batas tertentu, beberapa tuntutan transisional dapat diterima oleh pemerintahan borjuis. Tetapi sekalinya ada kesempatan para kapitalis akan berusaha membalikkannya.

Oleh karena itu, jika tuntutan transisional tidak bersifat propaganda murni, tujuan utamanya adalah pendidikan. Di antara beberapa tuntutan transisional dapat kita masukkan: pembagian jam kerja di antara semua pekerja yang ada, tanpa pengurangan upah, untuk mengakhiri pengangguran; kenaikan upah dengan laju yang sama terhadap inflasi, untuk mencegah pengeroposan kondisi hidup oleh krisis kapitalis; pengambil-alihan tanpa kompensasi atas industri strategis kapitalis tertentu, seperti keuangan, tanah dan industri berat, di bawah kendali buruh; pembentukan komite manajemen di perusahaan, yang berusaha menyaingi para bos; tanah bagi mereka yang tinggal dan bekerja di atasnya; pengambil-alihan agrobisnis dan pertanian kapitalis; dan upah yang setara untuk pekerjaan yang setara, dengan tujuan menghapuskan pemotongan upah di sektor-sektor tertindas yang menguntungkan majikan.

Ini hanya beberapa contoh, dan belum menghabiskan deretan kemungkinan tuntutan transisional. Jelas, ini tidak berarti bahwa kaum Marxis mengesampingkan tuntutan minimal atau tuntutan demokratik yang penting bagi gerakan buruh. Namun program transisional adalah poros agitasi yang paling penting, meskipun tidak dapat dicapai dalam setiap perjuangan kecil. Program transisional muncul dari kebutuhan riil proletariat, bukan dari tingkat kesadarannya saat ini. Oleh karena itu, diharapkan bahwa ia akan diterima dengan sikap skeptis oleh para pekerja pada waktu-waktu tertentu, tetapi kebutuhannya secara obyektif ditunjukkan segera setelah perjuangan memperoleh ciri-ciri yang lebih serius dan bergerak ke arah konfrontasi terbuka dengan kaum kapitalis dan negara.

Terungkap bahwa di banyak kelompok yang seolah-olah kiri sosialis, telah beralih ke perspektif administrasi negara borjuis dan sistem kapitalis yang lebih rasional atau “manusiawi”, menolak program transisional, alih-alih mengadopsi sebagai tujuan utama mereka “memajaki orang kaya” dan mengadopsi “pemasukan dasar universal” atau program kesejahteraan sosial lainnya yang didanai oleh sebagian dari laba kaum kapitalis. Sebagaimana dinyatakan, kaum Marxis tidak menolak reformasi, dan langkah-langkah ini dapat diperoleh dari kaum kapitalis dalam beberapa konteks. Namun bertentangan dengan perspektif harmonis kaum oportunis, yang mendamaikan tuntutan-tuntutan ini dengan kesinambungan kapitalisme dan kelas penguasa dalam kekuasaan, dalam situasi perjuangan yang maju kami berpendapat bahwa tuntutan-tuntutan itu hanya dapat diperoleh sementara dan bahwa kaum kapitalis akan berusaha untuk membalikkannya sesegera mungkin. Sebaliknya, oleh karena itu program transisional tidak boleh dilihat sebagai seperangkat reformasi yang harus dicapai di dalam kerangka sistem ini, atau sebagai tujuan akhir itu sendiri. Malahan, ia bertujuan membuka jalan untuk memahami perlunya kediktatoran proletariat.

Aparatisme berarti memprioritaskan mengontrol posisi kekuasaan dalam organisasi pekerja di atas tugas mengedepankan perspektif revolusioner, dan seringkali di atas pengaruh nyata kaum Marxis di jajaran keanggotaan. Banyak arus kecil sosialis mencoba untuk mengontrol aparat serikat buruh tanpa sering memiliki kekuatan untuk mengelolanya secara efektif. Perjuangan meraih posisi aparat juga merupakan cara termudah bagi benih-benih Marxis untuk mengesampingkan program dan tujuannya, karena ia mulai memprioritaskan mempertahankan posisi ini, membuat blok palsu dengan kelompok lain dan mengakomodasi pidato dan tujuan mereka. Tujuan utama dari benih Marxis kecil adalah untuk memperluas basis dukungan, pengakuan dan kewenangannya, sambil membantu mengembangkan kesadaran kelas dalam gerakan buruh.

Taktik penting dalam banyak kasus adalah front bersatu. Ini adalah kesepakatan di antara organisasi-organisasi kelas pekerja untuk melakukan kampanye perjuangan atau konfrontasi melawan kelas penguasa (bahkan jika di satu perusahaan tertentu) demi kepentingan bersama para pekerja. Ini adalah taktik yang berguna bagi gerakan buruh, misalnya, untuk membubarkan kelompok-kelompok fasis, atau untuk mengalahkan pemaksaan kebijakan terhadap kelas buruh. Kaum Marxis mengambil keuntungan dari front bersatu untuk “menyusun basis melawan kepemimpinan” organisasi birokratis, reformis atau oportunistik pada umumnya. Dalam konteks ini, kita harus menjadi orang yang memandangnya paling serius dan mengabdikan diri secara aktif pada upaya perjuangan, untuk menunjukkan keunggulan program Marxis secara teori maupun secara praktik. Dalam front bersatu, Kaum Marxis tidak mengeluarkan perspektif politik umum bersama dengan arus-arus lain, dan berhak mengkritik (dan juga dikritik oleh) semua peserta. Debat politik yang jujur ​​tidak boleh menghalangi tindakan bersama, kecuali bagi sekte (baik mereka yang radikal atau moderat secara politik). Penjelasan paling ringkas dari front bersatu adalah “untuk menyerang bersama demi tujuan bersama, tetapi berbaris secara terpisah”.

Bertentangan dengan yang dipikirkan beberapa orang, front bersatu bukanlah suatu kesepakatan atau blok organisasi-organisasi untuk membuat propaganda politik bersama, dengan maksud untuk tampil sebagai kekuatan yang lebih besar atau lebih berpengaruh, dan yang seringkali berbentuk front pemilu. Praktik semacam itu sama-sama tidak jujur dan likuidasionis, karena tak pelak melibatkan pembungkaman perbedaan politik antara organisasi-organisasi yang berbeda. Sebaliknya, kaum Marxis akan berusaha mengarahkan diskusi ke arah penggabungan atau pengelompokan ulang jika ada cukup kedekatan antar organisasi dalam konteks front bersatu tanpa perlu mencegah berlanjutnya perjuangan bersama di dalam front bersama-sama dengan kelompok lain.

Bab 4 – Gerakan Serikat Buruh

Serikat memiliki nilai organisasi yang tak dapat disangkal, menampung ribuan bahkan jutaan pekerja di bawah satu organisasi yang secara formal bertanggung jawab memperjuangkan kepentingan perekonomian mereka. Namun sekarang ini, serikat tidak memiliki kemerdekaan politik ataupun materi, dan tunduk kepada negara borjuis melalui berbagai mekanisme. Para kepemimpinan dan petugas serikat – birokrasi serikat – merupakan lapisan sosial yang mempergunakan jabatan mereka sebagai sumber pemasukan, kehormatan dan stabilitas, dan biasanya terputus dari kepentingan dan realitas para pekerja yang katanya mereka wakili. Para kepemimpinan birokrasi pada dasarnya di dalam gerakan berfungsi sebagai sabuk pengikat untuk berdamai dengan para bos, dan sering bertindak untuk membatasi dan mengacaukan perjuangan pekerja sehingga cocok dengan pemodal.

Birokrasi dicirikan tidak hanya dengan keistimewaan materi yang mereka peroleh melalui kekuasaannya atas aparatus serikat, tetapi juga dengan ketidakmampuan mereka memaparkan suatu rancangan politik yang berlawanan dengan para borjuasi. Tanpa rancangan yang berlawanan, mereka selalu berusaha menundukkan para pekerja kepada “realitas” masyarakat hari ini, bertindak sebagai basis dukungan bagi beberapa pemerintah, partai atau politisi kapitalis, seringnya memainkan peran sebagai pendukung pemilu, tanpa mempersoalkan tentang kerangka penghisapan, kelas kapitalis dan negara borjuis. Tekanan politik ini berangsur-angsur menggapai bahkan para aktivis serikat yang paling jujur apabila mereka tidak memiliki perspektif revolusioner. Gerakan serikat yang sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan para pekerja menentang kapitalisme hanya dapat hadir di bawah kepemimpinan Marxis, dan kepemimpinan Marxis hanya dapat hadir di dalam serikat yang didukung oleh tindakan-tindakan militan dari kelas pekerja.

Pemogokan adalah sarana perjuangan terpenting bagi kaum proletar, karena melaluinya kelas kita menunjukkan kekuatannya untuk menghentikan produksi sampai tuntutan-tuntutannya dipenuhi, salah satu faktor utama yang memberikan kelas pekerja kekuatan sosial. Selain itu, pemogokan memiliki sifat pembelajaran penting, karena ia menunjukkan para pekerja bahwa merekalah, bukannya modal, elemen tak tergantikan dalam proses produksi, yang membuat setiap sendi-sendi dalam perekonomian bergerak. Gagal mengorganisir pemogokan yang efektif dan dipersiapkan dengan baik, yang tidak membolehkan adanya penggembos, yang lebih dari pemogokan simbolis satu hari, dan yang menyatukan berbagai bagian pekerja setidaknya dari satu cabang strategis industri, perdagangan, transportasi atau distribusi telah menjadi ciri yang paling khas dari gerakan serikat saat ini.

Birokrasi mencerminkan kepasifan massa pada periode tertentu, tetapi akan segera menjadi penghalang besar bagi pengorganisiran perjuangan-perjuangan ketika ketidakpuasan meledak. Tanpa kemampuan untuk menghentikan produksi, kebangkitan rakyat memiliki kekuatan yang terbatas. Pada tahun-tahun belakangan, perlawanan massa menentang “reforma” dan “kebijakan pemangkasan” di banyak negeri didapati kesengajaan sikap diam dari serikat-serikat, meskipun ada tuntutan untuk bertindak di antara banyak pekerja. Paling-paling “mogok umum” satu hari yang dilancarkan, yang membawa sedikit dampak kepada laba para kapitalis ketika para bos telah bersiap-sedia sebelumnya. Jadinya, serikat terasingkan dari masalah-masalah genting yang mengimbasi para pekerja.

Perlu dicamkan dalam pikiran terutamanya pada masa sekarang, bahwa gerakan serikat tidak menyertakan sejumlah besar pekerja lepas dan tak resmi yang lahir dari bentuk-bentuk baru penghisapan kapitalis. Mengikut aturan, para pekerja outsourcing tidak disertakan di dalam perjuangan oleh serikat-serikat resmi karena mereka bukanlah “bagian dari perusahaan” bahkan ketika mereka bekerja bersebelahan satu sama lain. Sektor-sektor baru lainnya, seperti mereka yang dipekerjakan melalui aplikasi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan para bos mereka dan sesama pekerja, yang kononnya mengalami “ojolisasi” dan “ekonomi gig”, juga cenderung tidak memiliki serikat yang terorganisir. Juga tiadanya budaya di antara serikat-serikat yang ada untuk mewakili para pekerja yang menganggur, bahkan bagi mereka yang telah terjun dalam suatu sektor tertentu selama bertahun-tahun.

Kami hendak menjadi bagian dari pemberontakan pekerja menentang kenyataan fragmentasi ini, apati dan kekuasaan birokrasi di dalam serikat-serikat. Kami memperjuangkan serikat-serikat yang bersatu dan meluas, yang bertujuan mengorganisir semua pekerja di suatu industri, mencakup pekerja tetap, kontrak sementara, non formal dan outsourcing; dan melancarkan aksi solidaritas, dan juga edukasi politik, dengan pekerja yang menganggur, memberikan tekanan kepada perusahaan-perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak buruh dan mengurangi jam kerja tanpa mengurangkan gaji; melawan mempekerjakan pekerja outsourcing tanpa hak yang setara, menentang phk dan pemangkasan hak dan upah.

Pasukan tenaga kerja cadangan yang sangat besar – massa yang menganggur – merupakan kartu as di tangan para kapitalis untuk menanamkan ketakutan dan apati dalam kelas kita. Tanpa memerangi pengangguran, tanpa menyatukan pekerja outsourcing, non formal dan tetap, adalah mustahil melawan bos secara setara. Kaum Marxis mendorong serikat-serikat untuk mengambil secara konkret agenda-agenda ini dan akan berjuang memberikan aksi keteladanan ke arah ini sementara serikat-serikat tidak memimpin mereka, menunjukkan jalan yang tepat. Kami juga memperjuangkan pengorganisiran komite berdasarkan tempat kerja sebagai landasan aksi-aksi ini. Pembentukan serikat-serikat baru bagi sektor yang muncul dari perumusan ulang produksi kapitalisme, seperti pekerja aplikasi, juga akan memainkan peran penting dalam pengorganisiran proletar dan yang mana kaum Marxis harus berusaha terlibat. Kami menghendaki serikat-serikat berada di barisan depan perjuangan dan pemberontakan para pekerja dan yang tertindas, mendapatkan kesepakatan dari massa seluruh kelas yang tertindas.

Regenerasi gerakan serikat hanya dapat terjadi dari dalam, dengan lompatan kesadaran dari pengalaman perjuangan dan juga dari kemasukan generasi baru pekerja, yang terlatih di dalam budaya baru yang militan. Kaum Marxis harus membangun faksi mereka sendiri (baik terbuka atau tertutup, tergantung pada keadaan) bersama dengan anasir-anasir yang paling militan dari jajaran keanggotaan serikat-serikat, terlepas dari dan melawan birokrasi. Faksi serikat Marxis ini perlu menyertakan para militan dari organisasi revolusioner serta para militan yang bersetuju dengan program faksi bagi serikat dan bersedia memperjuangkannya, tanpa harus segera mengikuti program politik umum.

Kami memperjuangkan rotasi pemimpin serikat pekerja untuk mengekang kecenderungan birokratisasi, kebebasan berpartisipasi yang luas bagi beragam arus politik pekerja, melawan pengekangan perdebatan dan praktik pengucilan ala gangster. Kami menentang iuran serikat yang dikendalikan negara: kami menganjurkan agar serikat dibiayai sendiri dengan kontribusi keanggotaan mereka secara langsung. Kami juga menentang campur tangan apa pun oleh peradilan borjuis di dalam serikat pekerja, senjata yang sering digunakan oleh birokrasi, tetapi telah dilumrahkan oleh banyak kaum kiri.

Fokus kaum Marxis bukanlah penguasaan terhadap aparatus serikat, meskipun dalam beberapa kasus hal ini dapat membantu pengorganisiran pekerja, tetapi lebih pada menanamkan kesadaran sosialis di kalangan proletariat. Untuk alasan ini pemilu jabatan serikat pekerja seharusnya tidak menjadi fokus, terutama pada langkah pertama organisasi Marxis meskipun jabatan perwakilan berdasarkan tempat kerja dapat dengan cepat dimenangkan. Kami mendesak serikat untuk melakukan pendidikan politik bagi anggotanya, untuk membantu dalam proses peningkatan kesadaran kelas pekerja, tidak hanya tentang masalah ekonomi langsung, tetapi tentang kepentingan bersejarah kelas kita dalam perjuangan menuju sosialisme.

Dalam beberapa kasus tertentu, perpecahan untuk membentuk serikat baru yang lebih militan melawan serikat lama yang birokratis akan diperlukan. Ketika ada prasyarat untuk memisahkan massa pekerja dari birokrasi serikat, pembentukan serikat tandingan yang lebih militan dapat menjadi progresif, bahkan jika pada awalnya lebih kecil. Tetapi pembentukan “serikat-serikat” yang berupa nama belaka hanya mengarah pada pengucilan kaum Marxis dari serikat-serikat yang sebenarnya dan melikuidasi upaya-upaya untuk menyertai gerakan buruh.

Bab 5 – Persoalan Ekologis dan Persoalan Tanah

Di pedesaan, kelas pekerja secara geografis relatif lebih terpencar, tetapi terkonsentrasi di kutub-kutub agrobisnis (usaha niaga tani) dan industri pertanian. Di sinilah di antara sektor-sektor dari kelas kita yang paling tereksploitasi menderita beberapa kondisi kapitalisme yang paling kejam. Di banyak negara, khususnya di pinggiran kapitalisme, pedesaan juga masih terdiri dari berbagai kelas menengah, seperti kaum petani (kaum berpunya borjuis kecil, petani kecil), dengan subdivisi mulai dari petani kecil (yang memanfaatkan tenaga kerja keluarga mereka) hingga petani besar (yang secara permanen mempekerjakan pekerja, mirip dengan kapitalis).

Petani kecil, yang merupakan mayoritas luas dari kelas ini dan mereka yang memiliki lebih sedikit tanah, secara historis merupakan sekutu potensial para pekerja. Tetapi proses perjuangan politiklah yang menentukan apakah kaum tani berpihak pada buruh atau borjuis, bukanlah sesuatu yang ditetapkan sebelumnya.

Program Marxis memperhitungkan situasi kaum petani, kaum yang dilindas dan ditindas oleh kapitalisme. Agrobisnis sering menekan untuk merampas tanah mereka atau menundukkan petani kecil hingga kondisi ketergantungan, di mana mereka hanya mampu menjual produksi di bawah harga dan kondisi yang tidak menguntungkan, ditentukan oleh para kapitalis pembeli.

Tujuan kaum Marxis adalah kolektivisasi tanah secara demokratis, yaitu penguasaan penuh atas tanah subur, sumber daya dan teknologi pertanian oleh pekerja pedesaan, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik massa perkotaan maupun pedesaan di bawah kediktatoran proletariat. Oleh karena itu, kami memperjuangkan perampasan pemilik tanah besar dan agrobisnis, pengambilalihan tanah oleh mereka yang tinggal dan bekerja di atasnya (tanah bagi penggarap), penghentian produksi demi kepuasan pasar ekspor (khususnya pasar imperialis) dan juga memperjuangkan penghentian properti besar yang tidak produktif, yang dipelihara demi mendapatkan sewa. Program kami atas masalah ini sejalan dengan program proletariat bagian perkotaan, yang membutuhkan tempat tinggal dan sering membayar sewa yang berlebihan atau tinggal di daerah rawan. Kami memperjuangkan pengambilalihan properti kosong di kota-kota sebagai tindakan segera bagi para tunawisma, dan pekerja yang rentan tempat tinggal. Tanah di pedesaan merupakan tempat tinggal sekaligus sarana produksi.

Bagi petani kecil yang sudah mapan, kami menyokong agar mereka mempertahankan properti mereka dan diintegrasikan ke dalam perencanaan perekonomian sosialis masa depan dengan syarat-syarat yang saling menguntungkan; pada saat yang sama, kami akan memperjuangkan keterikatan sukarela mereka, berdasarkan persuasi politik, demi pembangunan pertanian kolektif, dengan kondisi teknis yang lebih baik. Kami menentang bentuk-bentuk kolektivisasi paksa ala birokrasi yang terjadi di Uni Soviet pada akhir 1920-an, yang mencabut tanah bahkan dari petani kecil dan memaksakan kepada mereka rutinitas kerja di mana mereka tidak punya pilihan. Kami mendukung perjuangan petani kecil, dan petani yang disingkirkan dari tanahnya, melawan pertanian besar dan kekerasan para preman dan antek agrobisnis dan para kapitalis pengeruk sumber daya. Dalam gerakan buruh dan tani pedesaan, kami memperjuangkan kebijakan revolusioner dan kemerdekaan kelas para pekerja melawan para borjuasi, sepenuhnya membangkang kepada kolaborasi dengan para elit kapitalis.

Terkait erat dengan permasalahan tanah yaitu perjuangan melawan dampak penghancuran kapitalis atas bumi ini. Dalam dua abad terakhir, kapitalisme telah mengambil langkah signifikan yang mendekatkan umat manusia pada ‘kiamat’ berkepanjangan yang disebabkan oleh perusakan sumber daya alam dan kondisi lingkungan. Pelanggaran perjanjian iklim yang sudah sangat terbatas dan tidak memadai (seperti Perjanjian Paris) dan tidak adanya rencana yang berarti dari pemerintah dan industrialis besar untuk memerangi kehancuran ekologi menunjukkan secara pasti bahwa sistem kapitalis tidak mampu menyelesaikan persoalan di era kita yang paling akut mengenai kelangsungan hidup umat manusia. Dampak perubahan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme sudah tidak dapat dihindari lagi, tetapi itu bukan berarti bahwa tidak dapat dicegah dan dibalikkan sampai tahap tertentu apabila perubahan mendesak dilakukan dalam proses perubahan iklim saat ini.

Hanya sistem produksi dan distribusi terencana yang dikendalikan dan dipimpin oleh produsen sendiri yang dapat menyelesaikan masalah ini, berbeda dengan sistem yang landasannya adalah persaingan antara kapitalis besar dalam perlombaan untuk mendapatkan pautan laba yang lebih tinggi, dan yang bertanggung jawab atas penyalahgunaan dan penghancuran kehidupan dan ekosistem para pekerja, mengabaikan standar (yang umumnya sudah longgar) perlindungan lingkungan. Seperti dalam semua hal lainnya, kapitalis berupaya meraup semua laba di tangan swasta, kecuali membebankan sebanyak mungkin biaya dan dampak yang disebabkan oleh laba tersebut, kapitalis mengalihkannya kepada kelas pekerja dan kaum yang ditindas. Ini termasuk hilangnya nyawa, tempat tinggal dan martabat jutaan korban manusia dari kerusakan sosial dan lingkungan. Kaum buruh dan kaum tertindaslah (yang di antaranya adalah masyarakat adat dari beragam bangsa) yang paling menderita akibat dari hal ini. Atas sebab ini, mereka jugalah yang secara aktif berminat memimpin perjuangan melawan penghancuran lingkungan oleh kapitalis, dan memperjuangkan kelangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan dan pemeliharaan sumber daya alam.

Kaum Marxis harus turun tangan dalam gerakan ekologis, serta orang-orang yang terkena dampak kemajuan alat produksi kapitalis dan kehancuran yang disebabkan olehnya. Selain mengupayakan reformasi dan konsesi, kami turun tangan dengan program yang juga menunjukkan perlunya peralihan sosialis. Gerakan buruh harus menempatkan tuntutan yang berkaitan dengan perusakan sosial-lingkungan lokal dan global sebagai prioritas utama dalam perjuangan mereka. Ini adalah masalah di mana perjuangan menuju sosialisme mutlak mendesak.

Kami memerangi ilusi kaum borjuasi “hijau” dan sangkaan bahwa kerusakan lingkungan dapat diputar-balikkan melalui koreksi sepele dalam batas-batas negara borjuis, melalui regulasi, dll. Reorganisasi produksi secara kilat dan segera dalam skala global, termasuk produksi energi yang sekarang didominasi oleh bahan bakar fosil, sama sekali tidak memungkinkan selama kapitalisme masih berkuasa. Jalan lamban ini, dalam batas-batas yang disetujui oleh ruang rapat dan parlemen perusahaan, membunuh kita. Fakta bahwa beberapa kapitalis telah menginvestasikan sejumlah kecil modal di dalamnya, melihat potensi bisnis dalam energi bersih, tidak berarti bahwa mereka dapat menawarkan solusi sejati bagi krisis iklim. Mereka berinvestasi dengan tujuan laba, tanpa komitmen tulus untuk mengubah sumber energi yang menggerakkan kapitalisme. Faktanya, banyak perusahaan di balik sumber energi “kotor” – minyak, batu bara, dll. – juga berinvestasi pada sumber energi bersih. Kami berpendapat bahwa laba perusahaan bahan bakar fosil dan pencemar harus diambil alih untuk menyokong penduduk yang menderita bencana lingkungan dan untuk berinvestasi dalam energi bersih dan terbarukan di bawah perusahaan yang diambil alih dan dikuasai oleh pekerja.

Kami memperjuangkan pelestarian Amazon dan hutan-hutan lainnya dan wilayah alam dari pemangsaan perusahaan-perusahaan ekstraktif sumber daya dan agribisnis, dan juga melawan keinginan pemerintah imperialis, yang secara palsu menempatkan diri mereka sebagai “pelindung lingkungan”. Kami memperjuangkan demarkasi dan pertahanan wilayah masyarakat adat dan agar gerakan buruh mengambil bagian aktif dalam perjuangan ini. Kami menolak arus (biasanya borjuis kecil) yang menyuburkan ide-ide Neo-Malthusian, anti-manusia dan Primitivistik, yang menunjuk pada manusia itu sendiri, sains atau perkembangan populasi sebagai penyebab kerusakan lingkungan.

Cara produksi kapitalislah, yang dilindungi oleh negara-negara borjuis, melalui pencarian tanpa henti mereka akan bahan baku demi produksi nilai lebih, dan melalui keinginan mereka untuk mengurangi biaya produksi, yang membuat mereka mengabaikan hidup manusia dan stabilitas ekologis, yang bertanggung jawab atas kehancuran. Kapitalisme dapat dan harus dihilangkan dari hubungan manusia dengan alam. Manusia adalah hewan, meskipun sangat berbeda dari yang lain karena kemampuan tenaga kerjanya memungkinkan mereka memodifikasi lingkungan. Menyadari fakta ini, sebuah model produksi sosialis yang baru dapat mengupayakan, melalui perencanaan sosial, untuk menyelaraskan hubungan manusia dengan alam di mana mereka merupakan bagian integral. Teknologi dapat dan harus diadaptasi demi kepentingan umat manusia dan metabolisme alaminya dengan Bumi dalam jangka panjang, tanpa “tanggal kedaluwarsa”; populasi manusia dapat hidup di planet ini tanpa menumbalkannya.

Ini tidak berarti bahwa pengalaman peralihan sosialis (terhenti oleh isolasi dan kecacatan secara birokratis) telah memenuhi peran ini dengan baik. Sepanjang tahun 1920-an, Uni Soviet memimpin dunia dalam perlindungan lingkungan dan kepedulian ekologis ilmiah, tetapi perdebatan itu terkubur di tahun-tahun berikutnya oleh reaksi birokratis di dalam negara proletar pertama. Peristiwa seperti bencana Chernobyl dan penghancuran Laut Aral menunjukkan bahwa hanya kekuasaan demokratis para pekerja atas alat produksi dan distribusi, serta partisipasi dan keputusan mereka dalam seluruh siklus produksi, yang dapat menciptakan masyarakat yang bekerja demi kemakmuran manusia dan makhluk hidup lainnya sebagai prioritas.

Bab 6 – Gerakan Menentang Penindasan

Sistem dan negara kapitalis memelihara dan memperluas bentuk-bentuk penindasan sosial yang tak terhitung jumlahnya yang tidak terbatas pada hubungan kelas. Namun mereka terjalin dengan hubungan antara kelas-kelas sosial dan berbagai manifestasi konkretnya karena tidak ada yang lolos darinya. Rasisme memanifestasikan dirinya sangat berbeda bagi seorang borjuis atau hakim Mahkamah Agung kulit hitam dibanding pekerja atau pedagang kaki lima kulit hitam yang tinggal di daerah kumuh. Di sisi lain, ini tidak berarti bahwa rasisme tidak melintasi batasan kelas, tetapi bahkan untuk sesaat kaum Marxis tidak dapat melupakan fakta bahwa penindasan ini terhadap kelas pekerja dan kelas tertindas lainnya biasanya memanifestasikan dirinya secara lebih drastis.

Rasisme masih menjadi salah satu peninggalan terkuat dari kerusakan oleh penjajahan dan perbudakan Afrika, peninggalan yang diambil alih dan diperkuat oleh sistem kapitalis sebagai alat tambahan untuk eksploitasi. Orang kulit hitam dan non-kulit putih di banyak negara dipisahkan menjadi lapisan masyarakat terendah dan terkonsentrasi terutamanya pada kelas pekerja, termasuk di banyak sektor strategis, dan tentara cadangan (massa pengangguran). Rasisme secara historis telah menjadi hambatan terbesar bagi aksi politik dari sektor kelas yang tertindas ini. Kelompok rasial yang terpinggirkan secara tidak proporsional membentuk jutaan pekerja, perkotaan dan pedesaan, yang menganggur dan hidup tanpa tempat tinggal, tanpa makanan, tanpa keamanan, tanpa perawatan medis atau sanitasi dasar. Ini adalah tuntutan-tuntutan minimal yang tidak dapat diselesaikan oleh negara-negara kapitalis, karena tujuan utama mereka adalah menjaga agar laba selalu meningkat.

Di seluruh dunia, kapitalisme melahirkan dan membentuk rasisme; terhadap kulit hitam keturunan para budak belian, terhadap migran Asia, Latin, atau Arab dan keluarga mereka, terhadap bangsa minoritas yang tertindas dan penduduk asli korban dari penjajahan. Kapital memanfaatkan penindasan secara rasis dan sikap supremasi kulit putih baik untuk memecah belah kelas pekerja maupun untuk memastikan keberadaan segmen kelas yang dua kali lipat terpinggirkan yang dapat dieksploitasi dengan lebih mudah, intensif, dan menguntungkan. Ini menjadikan perjuangan anti-rasis sebagai tugas inti dari gerakan Marxis.

Perjuangan melawan kebrutalan rasis dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam perwujudan material maupun budaya, dan melawan peran yang dimainkan oleh kepolisian, merupakan hal pokok bagi revolusi sosialis dunia, khususnya di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Brasil. Perjuangan menuju kekuasaan pekerja terkait langsung dengan perjuangan untuk mengakhiri penindasan rasis, karena mereka diarahkan melawan struktur kapitalis yang sama. Sebagai prioritas kaum Marxis harus terlibat dalam perjuangan sektor pekerja yang paling rentan (seperti pekerja non formal, pekerja lepas dan outsourcing), yang sebagian besar berasal dari kelompok ras yang terpinggirkan. Perjuangan pekerja non formal untuk mendapatkan upah yang layak, stabilitas dan hak penuh, dan upah setara bagi pekerjaan yang setara, merupakan hal yang sentral.

Organisasi pertahanan diri pekerja dalam menghadapi serangan rasis juga memainkan peran yang menentukan, karena dalam praktiknya menunjukkan diri sebagai organisasi pengganti dari kepolisian yang rasis. Kami menganjurkan peniruan contoh pertahanan diri serikat pekerja terhadap serangan rasis yang diderita oleh pekerja di masa lalu. Kepolisian adalah instrumen penindasan yang dilegalkan oleh satu kelas atas kelas lainnya. Mereka yang paling menderita akibat kepolisian tepatnya adalah pekerja yang diserang langsung oleh negara kapitalis rasis, korban genosida rasialnya, yang diperkuat setiap hari oleh media kapitalis dan aparat ideologis lainnya. Pengakhiran kepolisian rasis negara borjuis akan menjadi langkah yang sangat diperlukan menuju penghapusan rasisme.

Penindasan terhadap perempuan memainkan peran di seluruh dunia dengan memaksa mereka bekerja dua kali lipat atau tiga kali lipat, karena mereka dibebani tanggung jawab untuk mengurus rumah, anak-anak dan orang tua – pelayanan yang seharusnya menjadi hak universal dan tanggung jawab publik. Kerja tak berbayar ini membebaskan negara borjuis dan kapitalis dari menghitungnya ke dalam pengupahan dan menyediakannya sebagai pelayanan publik, dan itulah sebabnya keluarga inti telah menjadi pola pikir yang disakralkan dan diidealkan. Pada kenyataannya, para ibu akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan hubungan yang penuh kasih sayang dan sehat dengan anak-anak mereka jika tidak ada begitu banyak kesusahan dari setiap segi materi dalam membesarkan mereka, yang seringkali tidak dapat dipenuhi oleh perempuan sendiri. Lebih dari itu, mereka juga harus memiliki hak untuk mandiri sebagai perempuan tanpa mengurangkan hidupnya semata-mata untuk mengurus rumah dan anak-anak.

Sebagai salah satu prasyaratnya, penghapusan penindasan terhadap perempuan menuntut jaminan pekerjaan penuh dengan upah layak hidup. Semua perempuan harus berhak untuk bekerja dan dibayar tidak kurang sepeserpun atas pekerjaan berlandaskan kesetaraan dengan laki-laki. Pada saat yang sama, perempuan yang menjadi ibu harus bebas dari shift kerja ganda atau tiga kali lipat. Dengan mempekerjakan perempuan secara penuh, pelayanan rumah tangga harus disosialisasikan: pekerja publik laki-laki dan perempuan akan memenuhi fungsi utama pengurusan rumah tangga dan kebutuhan dasar masyarakat. Layanan kebersihan umum dan restoran umum akan memenuhi permintaan kelas pekerja atas makanan dan kebersihan. Anak-anak harus memiliki akses ke fasilitas pengasuhan anak yang aman yang tersedia sesuai permintaan, yang mengasuh anak-anak selama jam kerja orang tua mereka, mereka harus diberi makan setidaknya tiga kali sehari secara gratis, pendidikan dan waktu luang yang berkualitas.

Kami memperjuangkan hak penuh untuk bercerai, untuk membebaskan perempuan dari ikatan perkawinan semata karena kebutuhan materi, dan menuntut bantuan yang layak bagi perempuan bercerai, ibu tunggal dan janda yang berkekurangan, bantuan yang memenuhi kebutuhan dasar yang nyata dari perempuan pekerja. Tuntutan demokratis yang masih absen di sebagian besar dunia adalah legalisasi aborsi yang aman dan sesuai permintaan, sebagai bagian dari sistem perawatan kesehatan publik dan mudah diakses.

Selain persyaratan dasar atas upah yang sama bagi laki-laki dan perempuan pada jabatan yang sama, sebagai reformasi keberpihakan perempuan kami juga memperjuangkan agar upah perempuan dinaikkan sesuai dengan jumlah anak yang mereka miliki. Kami menganjurkan agar serikat-serikat membentuk komite aksi di tempat kerja melawan pelecehan verbal dan seksual terhadap perempuan, dan mendorong partisipasi mereka dalam gerakan pekerja, yang mana mereka seringkali dikesampingkan. Serikat juga dapat melakukan tindakan untuk membantu pekerja perempuan dalam situasi kerentanan sosial. Gerakan buruh harus memperkuat kampanye melawan budaya borjuis chauvinis yang membenarkan dan membela pemerkosaan, dan perwujudan material dan budaya seksisme.

Kaum homoseksual, biseksual, transgender dan minoritas lainnya dalam hal orientasi seksual dan identitas gender mengalami penindasan berdasarkan pembelaan nilai-nilai tradisional keluarga inti, nilai-nilai yang sama yang juga berperan dalam penundukan perempuan. Struktur sentral yang bertanggung jawab atas hal ini adalah institusi keagamaan dan organisasi politik konservatif yang homofobia, yang menciptakan dan mendorong kefanatikan menentang orang-orang LGBTQI+. Efek psikologis yang berasal dari penganiayaan dan agresi terus berulang. Populasi LGBTQI+ seringkali ditolak oleh keluarga dan dipinggirkan, terutama mereka yang kelas pekerja, dan pasar lapangan kerja formal jauh lebih tertutup bagi mereka. Dalam kasus transgender (seperti waria), dalam banyak kasus kerja seks justru menjadi solusi untuk menghindari kesengsaraan ekonomi.

Beberapa sektor borjuasi lebih toleran terhadap masalah ini, tetapi buruh terus menderita ketidakamanan, ketakutan, pengabaian dan pengangguran yang disebabkan oleh homofobia dan transfobia yang berlebihan yang diperkuat oleh agama-agama reaksioner dan moralisme semu. Kami memperjuangkan perampasan properti (termasuk media) dan kekayaan gereja kriminal dan institusi konservatif yang mendorong praktik dan ideologi semacam itu, serta pengakhiran bebas pajak bagi institusi keagamaan pada umumnya. Sumber daya ini harus digunakan bagi penerapan program melawan homofobia dan transfobia di semua sekolah, sebagai cara untuk melawan ideologi ini, dan program bantuan bagi komunitas LGBTQI+, serta menjamin pekerjaan penuh bagi anggotanya. Kami menganjurkan kesetaraan penuh hak-hak sipil bagi orang-orang LGBTQI+, termasuk hak identitas sosial dan transisi medis bagi orang-orang transgender.

Penindasan lain yang krusial untuk diperangi demi persatuan buruh adalah yang dialami para imigran, orang asing dan pengungsi. Orang-orang kelas pekerja dengan latar belakang ini dicampakkan ke pekerjaan terburuk, sambil hidup dengan risiko deportasi dan serangan xenofobia dan rasis. Imperialisme memelihara perang dan mengekspor kontradiksinya ke pinggiran sistem. Dalam mengejar kepentingannya untuk meningkatkan keuntungan, ia menghancurkan mata pencaharian tradisional banyak orang, menyebabkan gelombang imigran yang putus asa mencari kehidupan yang lebih baik di pusat-pusat imperialis. Di sana, mereka dilihat oleh kaum borjuasi dan ideologi mereka sebagai sampah, sebagai “pencuri pekerjaan” (seolah-olah pengangguran bukanlah ciri-ciri mendasar kapitalisme) dan sebagai kambing hitam untuk persoalan kriminal perkotaan. Kami melawan ide-ide reaksioner ini dan menuntut hak penuh kewarganegaraan untuk semua imigran, pengungsi, dan orang asing untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik, serta hak atas perumahan dan pekerjaan yang layak. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa revolusi sosialis adalah satu-satunya jalan keluar dari kontradiksi global kapitalisme, baik di negeri-negeri pinggiran maupun di pusat-pusat imperialis.

Bagi kelas pekerja memerangi penindasan ini adalah persoalan hidup dan mati. Penindasan-penindasan tersebut tidak hanya digunakan untuk mengeksploitasi sektor proletariat yang tertindas dengan lebih berat, dan untuk mengurangi biaya bagi kapitalis sebanyak mungkin melalui kerja yang tidak dibayar dan dibayar rendah, tetapi juga untuk memecah belah pekerja, mengkambinghitamkan atas beberapa kesulitan yang sebenarnya berasal dari kapitalisme itu sendiri dan akibat-akibatnya, karena itu membebaskan kaum kapitalis dari disalahkan.

Melawan soal-soal ini, strategi kaum Marxis adalah berpusat pada kelas proletar dan persatuannya melawan semua penindasan. Dalam serikat pekerja dan organisasi pekerja secara umum, kami memperjuangkan keterlibatan yang lebih luas dalam perjuangan seluruh kelas pekerja ini, melawan ketidakpedulian dan pemeliharaan birokrasi serikat terhadap seksisme, rasisme, homofobia, xenofobia, transfobia, dll. dalam masyarakat kita. Kami tidak puas dengan solidaritas dalam kata-kata, kami menginginkan aksi dan dukungan aktif.

Dalam gerakan melawan penindasan, partai harus mengintervensi terutama melalui pembentukan organisasi transisional, sebuah faksi dari gerakan yang dipimpin oleh anggota partai dan pendukung yang merupakan bagian dari kelompok tertindas, tetapi dibantu dan juga disertai oleh mereka yang bukan dari kelompok tertindas. Haluan mereka haruslah memperjuangkan revolusi proletar sebagai jalan bersejarah yang diperlukan untuk menghancurkan struktur yang memelihara penindasan, prasyarat untuk mengakhiri siklus penindasan. Selain itu, aparat-aparat pendidikan dan budaya dari kediktatoran proletar yang didirikan melalui revolusi proletar harus berjuang untuk menghapuskan sisa-sisa ideologis penindasan. Di sini, seperti dalam semua kasus lainnya, kami secara mekanis tidak menentang reformasi dan revolusi: kami memperjuangkan segala perbaikan dan melawan setiap kekerasan kecil, terkadang bersama dengan kekuatan politik lainnya. Namun kami memperjuangkan sentralitas proletar, tanpa membiarkan ilusi liberalisme dan ideologi lainnya yang mengajarkan bahwa kesetaraan dan kebersamaan (inklusivitas) dimungkinkan di dalam batas-batas sistem kapitalis.

Kami tidak memberikan dukungan atau pujian apapun kepada demagogi dari yang kononnya merupakan perusahaan dan kapitalis “inklusif” atau “progresif” yang tujuannya hanya untuk meraup laba dari ide-ide ini. Kami menolak apa yang disebut wacana “identitas”, yang umumnya tidak lebih dari perspektif reformis atau liberal yang tidak membahayakan kapitalisme, seringnya dengan sentimen sektarianisme dan anti-kelas pekerja terhadap sektor-sektor yang tidak menjadi korban dalam bentuk penindasan tertentu. Identitas kelompok tertindas biasanya ditekan sebagai cara untuk mencegah pengakuan keberadaan dan perbedaan mereka. Mengambil langkah untuk mengakui identitas ini merupakan kemajuan bagi kaum tertindas, tetapi tidak boleh berhenti di situ. Aliran pemikiran liberal cenderung memiliki budaya pasrah terhadap keberadaan penindasan itu sendiri, yaitu tidak adanya strategi untuk mengakhirinya, semata-mata melawan manifestasi secara individu dan marjinal. Mereka juga cenderung menyebarkan perpecahan dalam gerakan. Tidak memperjuangkan persatuan proletar, mereka memandang orang-orang yang tidak menderita penindasan tertentu sebagai tidak mampu melawannya atau, sampai batas tertentu, otomatis sebagai penindas itu sendiri. Ada juga fokus dari aliran-aliran ini sebatas mempromosikan representasi budaya untuk melawan ideologi rasis, seksis, transfobia, atau homofobia.

Pertarungan di tingkat budaya adalah ekspresi penting dari perjuangan melawan penindasan, tetapi itu sendiri bukanlah cara untuk mencapai penghapusan landasan strukturalnya, yang tertanam dalam kapitalisme. Misalnya menyebarkan budaya kulit hitam, tidak cukup tanpa mengakhiri kapitalisme, kepemilikan swasta, dan kepolisian, yang merupakan pondasi rasisme. Perjuangan melawan penindasan di arena representasi budaya tidak boleh melupakan pengakhiran atas sistem kapitalis dan negaranya.

Meskipun ada semakin sedikit pekerja yang tertindas dalam masyarakat kapitalis, totalitas hubungan sosial menunjukkan bahwa rasisme, seksisme, xenofobia, homofobia, transfobia dll. digunakan sebagai bentuk dominasi yang pada akhirnya merugikan semua pekerja, dan menjadi kepentingan seluruh kelas pekerja untuk membasminya. Kebalikan dari pandangan ini, gagasan bahwa penindasan menguntungkan laki-laki kelas pekerja heteroseksual kulit putih, misalnya, akhirnya menjadi celah bagi ideologi borjuis yang ingin meyakinkan mereka akan hal ini.

Perilaku menindas diprogramkan secara historis dan sosial, bukan dalam genetika atau kepentingan obyektif proletariat, dan dapat diatasi melalui perjuangan politik. Kami tidak menganggap pekerja laki-laki pada umumnya sebagai musuh perempuan, atau pekerja kulit putih otomatis menjadi musuh orang kulit hitam, latino, dll. Kami juga tidak mencoba untuk membangunkan perasaan bersalah, seakan mereka adalah penerima manfaat besar dari penindasan tersebut dan harus merasa berdosa atas keberadaan mereka. Ini tidak berguna bagi pergerakan. Sebaliknya, kami berpendapat bahwa semua pekerja harus menjadi peserta aktif dalam perjuangan kaum tertindas, dalam gerakan bersama yang luas, berpusat pada proletariat, melawan sistem kapitalis dan semua ideologi reaksionernya. Di dalam partai, kami melawan semua manifestasi penindasan dan prasangka, dan memperjuangkan kesetaraan kondisi dan perlakuan di antara segenap anggota.

Bab 7 – Marxisme dan Negara

Negara yang mengatur masyarakat kapitalis bukanlah sebuah struktur yang dapat digunakan untuk membela kepentingan pekerja. Institusinya, terlepas dari kontradiksi dan perbedaan internal, tidaklah “netral” dalam karakter kelasnya. Polisi, Angkatan Bersenjata, pengadilan, parlemen, kabinet menteri, semuanya memiliki hubungan yang erat dengan bisnis besar, bankir, dan kapitalis besar. Kepala aparatur negara seringkali adalah kapitalis, dan bahkan mereka yang bukan kapitalis, memiliki hubungan dekat dengan kaum borjuasi. Ikatan semacam itu diperkuat dan dipelihara dengan cara yang tak terhitung jumlahnya. Karena alasan inilah Marxisme menegaskan, bertentangan dengan argumen kaum reformis, bahwa negara kapitalis semacam itu harus dihancurkan. Kesimpulan ini berarti bahwa tidak mungkin mengubah karakter negara melalui pemilu ataupun dengan tekanan gerakan massa, tetapi gerakan pekerja harus mempersiapkan dirinya untuk sebuah perlawanan sehingga institusi kaum borjuasi dilucuti, dicabut otoritasnya dan dibubarkan.

Kepolisian, yang merupakan salah satu inti utama dari negara kapitalis, tidaklah terdiri dari rakyat pekerja, tetapi kaki tangan bersenjata pemodal, yang secara permanen dikondisikan secara material dan ideologis untuk melawan pekerja dan kaum tertindas yang memberontak melawan sistem. Atas alasan ini, kaum Marxis tidak mendukung pembangkangan atau “pemogokan” polisi yang ditujukan demi perbaikan aparatus represif (persenjataan yang lebih baik, kondisi yang lebih baik, upah yang lebih baik), karena ini berarti memperkuat kondisi represi negara kapitalis terhadap rakyat pekerja. Kami mendukung pengusiran polisi dan organisasi mereka dari gerakan pekerja.

Angkatan Bersenjata dapat sangat bervariasi dalam komposisinya tergantung pada situasinya. Dalam situasi krisis atau perang nasional, pekerja yang sebelumnya tidak dilatih sering direkrut. Dalam konteks seperti itu, agitasi untuk mendobrak disiplin dan organisasi prajurit bawah tanah dan pangkat rendah melawan perwira tinggi menjadi mungkin dan bahkan krusial. Kami tidak mendukung tuntutan militer demi kondisi represi yang lebih baik (persenjataan, kendaraan, penjara dan otonomi lebih banyak) untuk menyerang kelas pekerja dan sektor-sektor yang secara historis tertindas. Tapi kami membela tindakan kelompok atau individu di Angkatan Bersenjata yang membangkang hierarki dengan menolak perintah untuk menyerang pekerja, menekan demonstrasi rakyat atau mengusik kaum kiri, misalnya.

Serikat pekerja dan organisasi pekerja lainnya harus bersiap, pada waktu yang tepat, untuk mempersenjatai diri dan melatih pasukan mereka untuk berkonfrontasi dengan negara. Bahkan sebelum konfrontasi revolusioner yang menentukan, mempertahankan pemogokan dan gerakan buruh menegaskan hal ini sebagai sebuah keharusan. Ini berarti membentuk garda pertahanan rakyat pekerja, atau satuan pertahanan kolektif. Ini adalah tuntutan yang harus sering diajukan dalam serikat buruh dan dalam gerakan untuk menghadapi ancaman rasis atau fasis tertentu, tetapi mengambil sudut pandang lain di masa krisis pra-revolusioner.

Kaum Marxis menolak semua ekspresi pasifisme dari mereka yang mengkhotbahkan kebijakan liberal “perlucutan senjata”. Kami mendukung mempersenjatai penduduk demi revolusi di mana aparatur negara yang mewakili kaum borjuasi ditentang oleh kekuatan buruh yang terorganisir. Ini tidak ada hubungannya dengan membenarkan kaum reaksioner untuk mempersenjatai kelompok mereka sendiri, yang berkait dengan kepolisian: tuan-tuan tanah bersenjata, milisi sayap kanan, kelompok fasis dan kaki tangan pemodal lainnya. Pada umumnya, mempersenjatai penduduk tidak pernah terlintas dalam benak mereka, karena sama saja dengan mempersiapkan elemen untuk menggulingkan mereka sendiri.

Revolusi tidak lebih dan tidak kurang dari periode konfrontasi terbuka antara kekuatan negara borjuis di tengah krisis dengan kekuatan proletariat terorganisir yang muncul, mengarahkan sebagian besar dari mereka yang ditindas oleh kapitalisme. Menjadi seorang revolusioner berarti mempersiapkan kelas pekerja akan konfrontasi ini.

Kaum Marxis jelas berharap konflik ini dapat diselesaikan secara damai, dengan pendapat mayoritas proletariat menang atas minoritas pengeksploitasi dan parasit. Tetapi sudah lama terlihat jelas bahwa kaum borjuis tidak berniat meninggalkan kekuasaan dan kepemilikan secara damai. Ia malah mempersenjatai diri dengan segala cara yang memungkinkan, termasuk penggunaan terorisme, kudeta, kekerasan kepolisian yang meluas, dan kampanye fitnah dan penistaan terhadap komunis. Kemungkinan ini tak terhindarkan di mana penghancuran negara borjuis akan terjadi melalui insureksi, yang juga dapat mengarah menuju jalur perang sipil. Kaum Marxis secara sadar mengenali cara-cara ini sebagai kebutuhan, dan menekankan bahwa perihnya melahirkan masyarakat baru akan berkurang dengan semakin kuat dan semakin hegemoniknya kekuatan terorganisir rakyat pekerja.

Keraguan tentang tugas proletariat dalam revolusi dijawab secara historis oleh Komune Paris, dan bahkan lebih tegas lagi oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Proletariat perlu membentuk “staf umum”, cikal bakal kekuasaan negara untuk memenangkan pertempuran sengit berjuang melawan kaum borjuasi. Mereka yang mengklaim bahwa proletariat “tidak membutuhkan negara”, biasanya kaum Anarkis atau yang disebut sosialis “libertarian”, mengabaikan atau meromantisasi tugas-tugas konkret revolusi. Marx dan Engels menanggapi hal ini dalam tulisan mereka yang matang: “Di antara masyarakat kapitalis dan komunis terdapat periode transformasi revolusioner dari yang satu ke yang lain. Sejalan dengan ini juga merupakan periode transisi politik di mana negara tidak lain adalah kediktatoran revolusioner proletariat.” (Kritik terhadap Program Gotha, 1875).

Kediktatoran proletariat, yang setelah Revolusi Rusia biasa disebut negara buruh oleh kaum Bolshevik, adalah kekuatan buruh yang terorganisir dan dipersenjatai untuk menghancurkan negara borjuis dan melakukan reorganisasi ekonomi dan masyarakat demi kepentingan rakyat pekerja. Kapanpun memungkinkan, kami berjuang agar rezim negara semacam itu didasarkan pada demokrasi organisasi rakyat pekerja akar rumput. Di Rusia, badan semacam itu adalah dewan pekerja (soviet). Inilah sebabnya, di setiap saat krisis, salah satu tugas utama kaum revolusioner adalah menjelaskan perlunya badan-badan semacam ini, meskipun bentuknya mungkin berbeda di setiap lokasi atau situasi (komune, dewan pekerja, komite rukun warga). Mereka adalah cikal bakal negara proletar, sekolah pembelajaran mandiri rakyat pekerja dalam proses menjadi kelas penguasa yang baru.

Oleh itu, kaum Marxis menolak gagasan bahwa negara borjuis dapat secara bertahap menjadi negara proletar, atau melakukan transisi ke sosialisme tanpa revolusi yang menggulingkan borjuasi dan mendirikan negara proletar. Ini adalah perbedaan utama dengan mereka yang, dalam beberapa tahun terakhir, bersemangat tentang apa yang mereka klaim sebagai proses membangun sosialisme (atau “revolusi Bolivarian”) di Venezuela di bawah Hugo Chavez. Bertahun-tahun yang lalu, hal serupa terjadi dengan mengharapkan pada Front Rakyat Salvador Allende di Chili, ataupun Front Nasional besutan PKI dan Soekarno yang mengupayakan pembangunan sosialisme Indonesia. Pengalaman-pengalaman tersebut benar-benar menegaskan kebenaran penilaian Marxis. Kaum Marxis tetap menentang pemerintah borjuis sayap kiri, yang menggagalkan tugas menghancurkan negara dan yang melindungi kelas kapitalis, menyelamatkan muka mereka pada masa-masa krisis.

Bab 8 – Demokrasi Borjuis dan Kaum Proletar

Apakah aparatur negara borjuis memiliki karakter demokratik, semi-demokratis, atau diktator, ia tetaplah menjadi “komite untuk mengelola urusan umum seluruh kaum borjuasi” (Marx) dan “ekspresi historis dari kesatuan kelas penguasa” (Gramsci). Akan fatal bagi rakyat pekerja untuk mempercayai bahwa mereka dapat mengubah kondisi fundamental mereka sebagai kelas tertindas dengan memilih satu atau dua komponen dari aparatur ini melalui pemilu “terbuka” – di mana kelas kapitalis umumnya memastikan aparatur negara tetap berada di tangan mereka melalui pembatasan pemilihan dan penipuan kampanye.

Pemilu adalah periode di mana borjuasi menggunakan kompetisi politik di antara berbagai faksi untuk mendapatkan dukungan rakyat, untuk memperkuat kedok wakil rakyat yang merupakan inti dari “demokrasi” mereka. Karena negara berusaha setiap saat untuk menyembunyikan karakter kelasnya, partai-partai kelas pekerja kadang-kadang juga dapat berkompetisi, meskipun pada umumnya ada segala macam pembatasan. Keberadaan sengketa pemilu dapat digunakan sebagai peluang bagi propaganda Marxis: untuk memperkuat slogan-slogan proletariat, untuk mempublikasikan dan membela perjuangan mereka, sebagai alat tambahan untuk mempersiapkan kelas pekerja, mencela peran negara borjuis dan menunjukkan kebutuhan akan solusi sosialis atas kapitalisme. Kaum Marxis tidak perlu menanggalkan apapun dari program mereka, mereka juga tidak boleh melakukan apa pun yang bertentangan dengan program mereka demi mencari kesuksesan jangka pendek dalam pemilu. Bagaimanapun, taktik semacam itu adalah urutan sekunder, dan bukan prioritas bagi organisasi Marxis kecil.

Dalam kasus organisasi yang lebih besar, partisipasi independen dengan program revolusioner adalah satu-satunya cara berprinsip untuk berpartisipasi dalam sistem pemilu borjuis. Partai harus berusaha menerangkan ungkapan program dan metodenya dengan sejelas mungkin kepada massa, yang tidak akan mungkin jika dilakukan dalam blok dengan organisasi lain. Namun, terutamanya bagi kelompok kecil tanpa keberadaan di dalam pentas politik nasional, bentuk partisipasi seperti itu tidak dapat dilakukan. Apakah dukungan elektoral untuk partai-partai yang tidak revolusioner dimungkinkan dalam kasus ini? Mari kita kembali ke pertanyaan mendasar mengenai partisipasi dalam pemilu: propaganda memperjuangkan perspektif sosialis dan kepentingan kelas pekerja. Tujuan utama dari partisipasi kaum Marxis dalam pemilu adalah untuk mempublikasikan program dan metode mereka, dan juga membuka kedok upaya kaum borjuasi dalam mempengaruhi proletariat. Dukungan kepada partai-partai kelas pekerja lainnya dapat dihadirkan secara kritis oleh kaum revolusioner, selama partai kelas pekerja lainnya berjalan secara independen dari kelas kapitalis, dengan program yang jelas membela kepentingan rakyat pekerja melawan bos dan partai-partai mereka (tanpa berkoalisi atau tanpa keinginan berkoalisi dengan mereka). Dukungan kritis diberikan juga dengan menghadirkan penyingkapan sistematis terkait perbedaan pendapat dan pembatasan kampanye tersebut.

Kami percaya bahwa dukungan elektoral apapun bagi partai-partai, politisi, atau koalisi elektoral kapitalis adalah pengkhianatan terhadap kemandirian kelas. Ini berlaku bagi kegiatan pemilu borjuis liberal yang disamarkan sebagai “progresif”. Demikian juga halnya dengan kampanye borjuis yang juga terdiri dari partai atau organisasi buruh (kononnya “front rakyat”). Dalam kasus terakhir, taktik dari kelompok Marxis adalah untuk menyerukan pemisahan rakyat pekerja dan organisasi mereka dari koalisi kolaborasi dengan kapitalis, yang dengan sendirinya mengecualikan dukungan elektoral dalam bentuk apapun selama koalisinya ada.

Majelis Konstituante bukanlah lembaga yang mampu menyelesaikan kontradiksi mendasar masyarakat, atau memberikan suara nyata bagi para pekerja. Beberapa orang yang berpura-pura sosialis menampilkannya sebagai bentuk pemerintahan yang “demokratis radikal” atau sebagai sarana yang dengannya pengalaman partisipasi rakyat akan mengarah pada revolusi sosialis. Ini keliru. Slogan untuk Majelis Konstituante dapat berperan sebagai pendukung tuntutan demokrasi dalam konteks kediktatoran kepolisian atau militer. Tapi itulah batasannya: semata tuntutan demokratis. Perjuangan kelas tidak akan maju melalui perselisihan di dalam institusi seperti ini, tetapi melalui konfrontasi langsung dengan kelas penguasa. Untuk alasan ini, Majelis Konstituante tidak dapat menjadi “pokok masalah” bagi kaum revolusioner, apalagi mempopulerkan gagasan palsu bahwa majelis ini dapat menjadi solusi bagi kepentingan rakyat pekerja ataupun atas kontradiksi mendasar dalam masyarakat kapitalis.

Bukan berarti bahwa tidak ada perbedaan antara rezim demokratik dan rezim diktator dalam kaitannya dengan kepentingan proletariat. Demokrasi borjuis berbeda dari kediktatoran borjuis dalam tiga aspek mendasar: kebebasan berorganisasi, kebebasan berekspresi dan partisipasi formal massa luas dalam politik, terutama dengan pemilihan wakil-wakil pada posisi politik tertentu dalam perangkat negara melalui pemilu. Manfaat dari dua yang pertama jelas terbukti. Kebebasan berorganisasi dan berekspresi berarti bahwa aparatur negara mentolerir aktivitas publik organisasi proletar sampai taraf tertentu, khususnya serikat-serikat buruh dan partai-partai politik.

Kaum Marxis harus berjuang tidak hanya untuk memperjuangkan hak-hak demokratik rakyat pekerja, tetapi juga untuk memperluasnya, untuk membebaskan organisasi proletar dari pembatasan dan untuk semakin membawa banyak rakyat pekerja ke ranah politik, untuk membiasakan diri kita berpikir secara politik dan mempersiapkan diri untuk revolusi. Di negara-negara di mana kediktatoran borjuis berlaku, perjuangan untuk mencapai hak-hak demokratik bagi para pekerja adalah tugas yang secara khusus menjadi agenda, tetapi itu tidak boleh menjadi penghalang atau pengganti agitasi tentang perlunya mengalahkan kapitalisme. Sebaliknya, perjuangan hak-hak demokratik berada di bawah (dan sebagai sarana) perjuangan program sosialis. Hak-hak demokratik di bawah kapitalisme harus dilihat sebagai alat persiapan demi emansipasi proletariat yang sesungguhnya, dan bukannya menjadi tujuan itu sendiri.

Demokrasi borjuis terus mengalami krisis sebagai gejala krisis kapitalisme. Negara-negara di pinggiran sistem merasakan dampak yang lebih kuat dari pembusukan imperialis, menjadi sasaran kehancuran demokrasi mereka yang rapuh oleh kudeta istana, pemberontakan militer, manipulasi dalam sistem pemilu mereka, dan segala intervensi yang berbagai jenis. Dua fenomena yang sering melemahkan rezim demokratik borjuis adalah gerakan Fasis dan kudeta.

Partai Fasis atau kelompok Fasis adalah organisasi reaksioner yang berusaha menciptakan aparatus paramiliternya sendiri, memobilisasi kaum borjuasi kecil dan sebagian proletariat (biasanya yang menganggur) untuk menyerang gerakan kelas pekerja dan rakyat yang tertindas, yang dijadikan sasaran kambing hitam atas situasi krisis. Karakteristik mobilisasi organisasi tempur Fasis inilah yang membedakan mereka dari kepolisian dan organisasi reaksioner lainnya. Membebaskan sebagian aparatur negara dari tanggung jawabnya sebagai organ represif, fungsi kaum Fasis bagi borjuasi adalah menghancurkan perlawanan proletariat menggunakan tangan mereka sendiri, membuka jalan bagi likuidasi organisasi-organisasi rakyat pekerja.

Kudeta adalah penggulingan satu atau lebih organ negara oleh yang lain, untuk menyelesaikan konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan hukum atau dengan prosedur yang disediakan konstitusi. Kudeta semacam itu biasanya terjadi ketika sebuah faksi dari kelas penguasa melihat kebutuhan untuk mengalahkan yang lain untuk memaksakan langkah-langkah atau persyaratan yang lebih keras terhadap kelas pekerja, baik di bidang hak-hak sosial dan demokrasi, dalam pengaturan eksploitasi, ketertundukan kepada imperialis, dll. Tingkat kekerasan dan kedalaman kudeta sangat bervariasi sesuai dengan konteksnya, dari pembongkaran total susunan rezim hingga sekadar memaksakan penghentian sementara tata-tertib demokrasi borjuis. Pendirian rezim kepolisian adalah sarana percobaan untuk menghancurkan organisasi gerakan buruh sepenuhnya, menghancurkan dengan kekerasan setiap perlawanan yang menentang kemauan faksi borjuis yang menang. Seringkali, kudeta menyertakan kedok hukum demi menutupi perwujudannya.

Ketika ada perlawanan terhadap pemberontakan Fasis atau kudeta reaksioner, kaum Marxis dan rakyat pekerja berpihak kepada yang melakukan perlawanan tersebut, karena kemenangan pihak lain berarti penerapan kondisi yang jauh lebih keras dan lebih berat bagi kelas pekerja. Kekalahan gerakan-gerakan reaksioner ini oleh kelas buruh, dalam konteks ketika proletariat cukup terorganisasi, dapat mengekang tatanan borjuis secara keseluruhan. Jika gerakan buruh tidak cukup siap untuk memanen buah dari kekalahan kaum reaksioner, setidaknya hal itu akan mencegah pelaksanaan segera tindakan-tindakan reaksioner terhadap proletariat. Dalam hal apapun posisi kelas pekerja tidak boleh dileburkan ke dalam kubu oposisi borjuis, dan kaum Marxis harus mempertahankan kemandirian politik dan kritik mereka terhadap semua faksi borjuis.

Bab 9 – Imperialisme

Imperialisme modern adalah sistem ekonomi dunia yang dicirikan oleh pembagian tenaga kerja secara internasional di mana negara-negara tertentu memaksakan kehendak dan kepentingan mereka kepada negara lain. Hal ini dicapai tidak hanya dengan okupasi dan tekanan militer langsung, yang terjadi dalam beberapa kasus, tetapi terutamanya melalui ketergantungan ekonomi negara-negara yang perkembangan kapitalisnya belakangan menggunakan hutang, teknologi dan investasi oleh negara-negara adidaya. Dengan cara ini, kekuatan imperialis memaksakan hegemoni mereka di atas bumi ini, memaksa negara-negara lain untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma internasional yang dirancang oleh lembaga-lembaga supranasional yang memberi keuntungan kepada perusahaan-perusahaan mereka yang kuat. “Kapital finansial bisa dikatakan adalah kekuatan yang begitu besar, begitu menentukan, dalam semua hubungan ekonomi dan internasional, sehingga ia mampu menundukkan, dan benar-benar menundukkan, bagi dirinya sendiri bahkan negara-negara yang menikmati kemerdekaan politik sepenuhnya” (Lenin). Sistem yang seperti itu jauh dari keadaan demokratis ataupun stabil.

Dalam pengertian modernnya, imperialisme terlahir dari hubungan yang dibangun antar negeri-negeri segera setelah seseorang dapat mengekspor modal (dalam bentuk investasi) ke negeri lain pada tingkat yang signifikan. Hubungan ini berlandaskan pada monopoli (dominasi segelintir perusahaan besar) dan penggabungan modal perindustrian dengan perbankan, menghasilkan kapital finansial dan membentuk negara mengikut kepentingannya. Tetapi ciri-ciri ekonomi imperialisme ini, yang pada awal abad ke-20 menjadi ciri khas bagi negeri-negeri adidaya global, kini hadir di sebagian besar dunia. Ini artinya bahwa negeri-negeri yang bukan kekuatan imperialis global terkadang dapat menjalin hubungan sejenis imperialis dengan negeri-negeri bawahan lainnya.

Brasil, sebuah negeri yang ditundukkan oleh kekuatan-kekuatan imperialis dalam konteks internasional, memiliki hubungan “imperialistik” dengan Paraguay dan Angola melalui dominasi perusahaan transnasionalnya yang membonceng kepada modal imperialis (terutama Amerika) di negara-negara tersebut. Perusahaan Brasil menangkap saham pasar lokal yang signifikan, menghisap populasi dan sumber daya negeri-negeri ini. Dalam upaya mempertahankan dan memperluas status inilah Brasil menduduki Haiti untuk membela kepentingan Amerika dan hari ini merupakan sekutu potensial dalam ancaman penyerbuan kepada Venezuela. Namun, ini tidak menjadikan Brasil sebagai kekuatan imperialis global.

Rusia, meskipun memiliki posisi predator dalam kaitannya dengan beberapa negara bekas blok Soviet dan di Timur Tengah, juga bukanlah kekuatan imperialis dunia, meskipun oligarkinya pasti memiliki keinginan dan harapan tersebut. Ia adalah kekuatan regional yang secara relatif dikelilingi dan di bawah tekanan kekuatan imperialis global. Jika kita menganggap Rusia dan Brasil sebagai “kekuatan imperialis”, kita harus mengkategorikan mereka masing-masing sebagai tingkat ketiga dan keempat, dan juga mempertimbangkan fakta bahwa mereka sebagian besar dicengkeram dan bergantung kepada kapital dari imperialis-imperialis yang lebih besar.

Kekuatan imperialis yang utama sejak akhir Perang Dunia II adalah Amerika Serikat, yang telah mendirikan pangkalan militer dan cengkraman perekonomiannya melalui investasi di hampir setiap penjuru dunia. Kekuatannya bahkan tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan imperialis di Eropa (Jerman, Inggris, Prancis, Belgia, Belanda dan Spanyol) atau Jepang, yang masih memiliki wilayah pengaruh yang berarti, tetapi bagaimanapun menerima keagungan Amerika. Di satu sisi, ini mencegah terjadinya perang dunia imperialis ketiga, bersama dengan potensi kehancuran total sejak munculnya senjata atom. Tapi itu tidak mencegah Amerika Serikat untuk mengobarkan serangkaian perang dan kudeta tanpa akhir terhadap negeri-negeri bawahan dan neo-kolonial yang mencoba melepaskan diri, meskipun jika cuma sebagian, dari aturan yang Amerika paksakan. Oleh karena itulah ada intervensi di Irak, Libya, Suriah, Ukraina dan Yaman, itupun sebatas menyebutkan yang terbaru. Gagasan yang diciptakan oleh imperialisme Amerika tentang “sumbu kejahatan” justru berasal dari kebutuhan untuk memaksakan kehendaknya dan memperdalam kendalinya atas wilayah-wilayah ini. Saat ini, sorotan bengis imperialisme Amerika ditujukan ke China, Rusia, Iran, Korea Utara, Kuba, dan Venezuela.

Kekuatan-kekuatan imperialis lainnya, seperti Prancis, tengah berlari mengejar, ikut melakukan serbuan bersenjata untuk mengamankan investasi, penguasaan bahan mentah dan pasar mereka di Afrika, sebuah benua di mana imperialis Eropa masih menghegemoni. Uni Eropa adalah institusi bagi kekuatan imperialis dominan di benua itu (terutama Jerman dan Prancis) untuk menghadapi Amerika Serikat dalam beberapa perselisihan global sambil menjamin dengan baik dominasi dan eksploitasi atas negeri-negeri bawahan mereka di Eropa.

Imperialisme hari ini adalah susunan yang jauh lebih kompleks daripada seratus tahun yang lalu. Ada berbagai bentuk eksploitasi gabungan atau keroyokan terhadap negara-negara bawahan, serta pembentukan berbagai blok sementara kekuatan-kekuatan imperialis. Kekuatan imperialis sekunder mengeksploitasi “wilayah pengaruh” mereka dengan berkomplot bersama kekuatan global, seperti dalam kasus Australia dan Selandia Baru di Pasifik, yang mengeksploitasi negeri-negeri neo-kolonial di wilayah tersebut dalam blok gabungan dengan imperialis Inggris dan Amerika. Tapi itu masih merupakan sistem yang mengarah pada konflik yang tak henti-hentinya demi pembagian dunia, di mana kesepakatannya selalu tidak stabil dan sementara.

Semakin hilangnya hegemoni imperialisme Amerika dalam pertikaian dengan kekuatan lokal seperti Rusia; pertumbuhan dan perluasan yang mengesankan dari kebangkitan Tiongkok dalam perdagangan dunia dan penguasaan mereka atas cabang-cabang teknologi canggih tertentu; dan melemahnya kekuatan produktif di AS sendiri, telah menciptakan situasi ketidakstabilan yang mendalam, ancaman perang dan invasi baru menghadapi desakan keputus-asaan imperialis AS untuk tetap berada di puncak.

Kaum Marxis mengakui situasi ketidaksetaraan antar bangsa dan membela bangsa yang ditindas melawan penindas. Ini berarti menyingkap dan melawan eksploitasi kaum borjuasi imperialis dan kepentingan mereka di negeri-negeri bawahan, termasuk tunduknya borjuasi lokal, dan memerangi tekanan berwujud diplomatik dan material (seperti sanksi ekonomi) terhadap negeri-negeri yang menolak sebagian paksaan imperialis.

Dalam kasus konflik – invasi, kudeta, dan perang sipil – yang diprovokasi oleh kaum imperialis di negeri-negeri tertindas, kaum Marxis selalu memihak kepada yang menentang pencengkraman atau pengintensifan eksploitasi imperialis. Tidak diragukan lagi ini termasuk dalam tradisi Marxis, yang mempertahankan Tiongkok semi-jajahan melawan pendudukan Jepang, dan Etiopia melawan pengambilalihan oleh Italia pada tahun 1930-an. Demikian pula posisi kaum Marxis dalam intervensi terhadap Irak (2003) dan Libya (2011) oleh Amerika Serikat. Kekalahan prajurit imperialis dan pasukan-pasukan bawahan imperialis juga menjadi prioritas dalam Perang sipil Suriah. Prognosis yang sama jelas relevan saat ini dalam menghadapi ancaman baru Amerika, yang digaungkan oleh boneka mereka, terhadap Venezuela dan Iran. Ini merupakan tugas kita bahkan ketika kubu yang diancam ini didominasi oleh faksi-faksi borjuis. Kaum Marxis harus selalu memperjuangkan program mereka sendiri, melawan semua faksi borjuis dan tidak memberi mereka dukungan politik apa pun. Bagaimanapun dalam kasus ini, kekalahan kekuatan imperialis dan wakil lokal mereka dalam konflik ini adalah hasil yang lebih diinginkan.

Bab 10 – Revolusi Permanen

Teori Revolusi Permanen dirumuskan pada awal abad ke-20 untuk menggambarkan dinamika dan karakter kelas dari Revolusi Rusia yang akan datang. Kemudian, digaris-besarkan pada tahun 1930-an ke pinggiran kapitalis (negeri-negeri non-industri atau negeri-negeri industri yang terlambat). Tetap penting untuk pemahaman kita tentang hubungan antara kelas dan bangsa dalam sistem kapitalis global dan peralihan ke sosialisme pada tingkatan internasional.

Karena kelemahan dan ketergantungan kaum borjuasi di negeri-negeri pinggiran dalam hubungannya dengan modal-modal imperialis, kehadiran tuan tanah pra-kapitalis atau feodal, dan ketakutan mereka untuk memobilisasi proletariat yang sudah banyak memiliki akses ke ide-ide sosialis, revolusi demokratik-borjuis tidak akan mungkin terjadi di negeri-negeri ini seperti yang terjadi di negeri-negeri modernisasi awal seperti Prancis, Inggris, dan AS. Kesimpulan dari teori negeri-negeri pinggiran dari tatanan imperialis ini adalah bahwa mereka tidak akan lagi dapat mengandalkan pembangunan demokrasi yang mandiri. Karena mereka dikelilingi dan tenggelam dalam tekanan imperialis, kemerdekaan dalam kondisi ini cenderung setengah-fiktif selama borjuasi lokal yang kebergantungan tetap berkuasa. “Solusi yang lengkap dan sejati atas tugas-tugas mereka untuk mencapai demokrasi dan emansipasi nasional hanya dapat dibayangkan melalui kediktatoran proletariat sebagai kepemimpinan bangsa yang dijajah, di atas semua massa taninya.” (Trotsky). Karena itu proletariat harus melaksanakan tugas-tugas ini bersamaan dengan memulaikan tugas-tugas peralihan sosialis.

Teori ini ketinggalan zaman hanya dalam hal bobot tugas-tugas demokratik tertentu dan pembebasan nasional yang harus dilaksanakan oleh proletariat setelah menjadi kelas yang berkuasa. Menghilangkan bentuk-bentuk kepemilikan feodal atau pra-kapitalis; untuk mencapai kemerdekaan formal dengan menghancurkan aparatur kolonial; dan untuk mendirikan rezim republik yang menggulingkan monarki pra-kapitalis adalah tugas bagi negeri-negeri pinggiran global pada awal abad ke-20, tetapi saat ini hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu. Namun demikian, masih ada ciri-ciri yang dihasilkan dari perkembangan kapitalis yang terlambat dari bangsa-bangsa tersebut yang menuntut penyelesaian. Penghancuran agen-agen tekanan dan campur tangan imperialis di dalam negeri; penolakan pembayaran hutang dan pinjaman dari kekuatan imperialis; demokratisasi struktur agraria yang masih dikuasai oleh ahli waris dari bekas penguasa feodal atau pemilik budak; membangun rezim republik demokratis yang tidak sering digoyahkan oleh kudeta dan tekanan dari kekuatan imperialis.

Seperti sebelumnya, kaum borjuasi negeri-negeri pinggiran tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas ini, karena ketergantungan mereka kepada kapital imperialis sejak pembentukannya, dan hanya revolusi proletar yang dapat melaksanakannya dengan tegas. Hal ini membuat kemandirian kelas dari kelas pekerja menjadi penting untuk mewujudkan langkah-langkah anti-imperialis yang konsisten.

Di negeri di mana revolusi dimenangkan dan kediktatoran proletariat ditegakkan, teori Revolusi Permanen menyatakan bahwa ini sama sekali belum berarti kemenangan sosialisme seutuhnya. Masyarakat seperti itu akan tetap tersusun atas kelas-kelas yang berbeda, sekalipun kaum borjuasi telah dirampas. Masih ada kontradiksi internal dan tekanan eksternal dari modal global. Negara buruh tidak akan segera mulai melenyap (dan secara konkret belum dapat melakukannya). Seluruh periode sejarah, yang mungkin lebih pendek atau lebih lama tergantung pada berjalannya peristiwa, dan yang pasti mengandung kemajuan dan kemunduran, masih diperlukan. Perjuangan kelas berlanjut dalam kondisi yang baru. Proletariat perlu memperkuat kekuasaannya dengan membawa lapisan kelasnya yang semakin luas ke dalam kehidupan politik dan pelaksanaan pemerintahan. Partai revolusioner melanjutkan untuk memainkan peran penting, itulah mengapa partai harus menjaga kemandiriannya dari kemungkinan arus birokratisasi ke dalam cengkraman negara buruh itu sendiri.

Dalam prospek internasional, teori ini menunjuk pada kemustahilan hidup berdampingan secara damai terus menerus antara negara buruh dan dunia imperialis di sekelilingnya, sebagian karena kelangkaan sumber daya dari sebuah negeri yang terisolasi, yang tidak dapat mencapai perkembangan sosialis sendirian, tetapi hanya memulaikan proses ini. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, Stalinisme berulang kali menegaskan kemungkinan bahwa satu negeri, Rusia, dapat “dengan usahanya sendiri membangun masyarakat tanpa kelas yang baru, masyarakat sosialis yang utuh”. Namun, keberadaan sebuah republik proletariat yang terisolasi, sekalipun berdamai sementara dengan bangsa-bangsa lain, sudah menduga keberadaan tekanan ekonomi yang sangat besar. Sebuah negara pekerja tidak bisa tidak akan berdagang dengan dunia kapitalis menurut aturan yang tidak bisa dipilih olehnya. Isolasi juga memaksanya untuk mengalihkan sebagian besar sumber dayanya untuk membiayai aparat militer yang membengkak sebagai tanggapan atas ancaman imperialis. Kondisi demikian menghambat pembangunan demokrasi proletar yang semakin partisipatif dan proses lenyapnya negara. Dengan demikian, transisi sosialis tidak bergerak maju.

Dalam tulisan terakhirnya, Lenin (yang saat itu sedang berperang melawan birokratisasi negara Soviet) mengomentari pernyataan seorang sosial-demokrat yang mengutuk Revolusi Rusia atas fakta bahwa “Rusia belum mencapai tingkat perkembangan dari kekuatan produktif yang memungkinkan sosialisme”. Lenin menjawab bahwa ini adalah fakta yang tak terbantahkan, tetapi itu tidak membenarkan supaya tidak mengambil langkah untuk mewujudkan revolusi proletar, yang dapat memulaikan proses transisi dan membantu memicu revolusi sosialis secara internasional.

Teori Revolusi Permanen menyelesaikan masalah ini dengan menyatakan bahwa: “Perebutan kekuasaan oleh proletariat tidaklah menuntaskan revolusi, tetapi hanya membukanya. Pembangunan sosialis hanya dapat ditumbuhkan di atas dasar perjuangan kelas, pada skala nasional dan internasional… Revolusi sosialis dimulaikan di arena nasional, berkembang di tahap internasional, dan diselesaikan di tingkatan dunia… Berbagai negeri akan melalui proses ini pada tempo yang berbeda-beda. Negeri-negeri terbelakang mungkin, dalam kondisi tertentu, mencapai kediktatoran proletariat lebih cepat daripada negeri-negeri maju, tetapi mereka akan lebih lambat mencapai sosialisme daripada negeri-negeri maju.” (Trotsky).

Bab 11 – Negara Buruh yang Terbirokratisasi dan Tugas-tugas Zaman Peralihan

Setelah bertahun-tahun perang sipil dan invasi asing yang sengit, di mana garda depan proletar dihancurkan secara fisik besar-besaran, demokrasi proletar, rezim yang diperlukan untuk peralihan menuju sosialisme tidak dapat bertahan di Soviet Rusia. Ini juga dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman dan kesalahan kaum Bolshevik. Meskipun demikian, demokrasi masih bertahan dalam perdebatan internal partai, di soviet-soviet (dewan rakyat pekerja) dan di pabrik-pabrik pada awal 1920-an. Di tahun-tahun berikutnya, kediktatoran proletariat semakin terbirokratisasi, yaitu kekuasaan terkonsentrasi di tangan pejabat negara, lapisan yang juga terdiri dari banyak anasir tanpa komitmen politik terhadap sosialisme. Kendali atas perusahaan dan manajemen ekonomi terencana semakin disingkirkan oleh aparat yang sangat berkuasa dari keterlibatan organisasi-organisasi pekerja akar rumput, dan bukan hanya sebagai tindakan sementara atau darurat. Perdebatan di dalam Partai Bolshevik menjadi tertutup dan birokrasi menjadi tidak terkendali.

Banyak pemimpin lama Partai Bolshevik menyatakan perang terhadap proses ini, dimulai dari Lenin sendiri. Masing-masing pada waktunya sendiri dan dengan tingkat kesalahan yang berbeda, dikalahkan oleh kekuatan politik birokrat negara, kelompok atau strata sosial dengan kepentingannya sendiri, yang kekuatannya dikonsolidasikan dalam otokrasi Stalin pada tahun 1930-an. Dengan Pengadilan Moskwa, birokrasi Uni Soviet melenyapkan kader politik Partai Bolshevik yang tersisa yang telah melakukan revolusi 1917, sehingga mengkonsolidasikan rezim mereka. Hasil ini bukan hanya hasil dari perjuangan internal, tetapi juga disebabkan oleh konteks kekalahan internasional dan isolasi revolusi, yang menyebabkan membengkaknya aparatur negara dan melemahnya watak revolusioner di kalangan buruh. Sebagai akibat, Uni Soviet menjadi apa yang disebut Trotsky sebagai negara buruh yang merosot, dengang rezim kediktatoran birokratis yang Bonapartis (Stalinisme).

Perang Dunia II adalah titik balik bagi negara buruh Soviet yang terbirokratisasi. Terlepas dari pemenggalan kepemimpinan Tentara Merah menjelang konflik dalam gelombang eksekusi dan penangkapan oleh klik Stalinis, Uni Soviet muncul sebagai pemenang karena perjuangan heroik jutaan pejuang dan pekerja. Kemenangan ini menghancurkan Nazi jahanam dan memulihkan harapan bagi umat manusia pada senja abad ke-20, menghindari bencana besar-besaran. Ruang bernafas yang diperoleh dengan kemenangan ini, yang mengurangi isolasi Uni Soviet, memungkinkan negara pekerja Soviet bertahan selama 45 tahun lagi.

Kemenangan militer negara buruh Soviet berujung pada pendudukan wilayah-wilayah di Asia dan Eropa, meskipun tidak semuanya kemudian diklaim dalam perjanjian dengan kekuatan imperialis AS dan Inggris yang menang. Di Vietnam Utara, Korea Utara, dan Eropa Timur, aparat kolonial dan bekas negara-negara borjuis yang berkolaborasi dengan Nazi secara efektif dihancurkan oleh Tentara Merah, membuka jalan bagi kekuasaan untuk berada di bawah perlindungan dan pengaruhnya. Menghadapi tekanan besar dari kaum buruh dan massa tertindas di satu pihak, dan permusuhan kaum borjuasi pribumi yang berkolusi dengan kekuatan imperialis di pihak lain, kekuatan baru ini lekas mengambil-alih kepemilikan kelas kapitalis. Negara-negara pekerja baru dibangun “dari atas”, dengan birokrasi yang berkuasa menjalankan peran penting sejak awal, menghilangkan dan mencegah dengan segala cara pembangunan organisasi massa demokratik kelas buruh. Birokrasi ini menggunakan metode represif untuk memastikan kekuasaannya, tetapi juga menikmati popularitas besar-besaran selepas kekalahan Nazisme.

Hampir bersamaan dengan ekspansi militer Uni Soviet ke Eropa Timur, revolusi secara mandiri dimenangkan di Yugoslavia dan Albania, yang dibebaskan dari cengkeraman Nazi oleh milisi perlawanan lokal yang dipimpin Partai Komunis. Setelah menghancurkan aparatur negara borjuis dan dengan sebagian besar ekonomi yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pendudukan Nazi, borjuasi pribumi menjadi sangat rapuh. Terlepas dari upaya awal untuk memasukkan perwakilan borjuis ke dalam rezim baru, Partai Komunis dengan cepat mengambil jalan mendirikan negara buruh dengan kecacatan (terbirokratisasi sejak pembentukannya) sebagai cara untuk mengamankan kekuasaan birokrasi mereka dari ancaman kontra-revolusioner, dan ancaman kelas pekerja. Mereka melakukannya dalam konteks mobilisasi masif kaum proletar dan tani menuntut kondisi hidup lebih baik dan harapan besar akan transformasi sosialis.

Revolusi sosialis juga menang tak lama kemudian di negeri-negeri yang sebelumnya didominasi imperialis. Revolusi yang paling mengesankan tidak diragukan lagi adalah Revolusi Tiongkok, di mana Partai Komunis Tiongkok menghadapi rezim uzur partai nasionalis Kuomintang setelah kekalahan pendudukan Jepang dan penarikan pasukan Sekutu. Bahkan dengan dukungan Soviet yang sangat sedikit, pasukan Tentara Pembebasan Rakyat yang dipimpin oleh PKT menghancurkan rezim Kuomintang pada tahun 1949, sebagian besar mengandalkan pada pemberontakan pekerja pedesaan, serta petani miskin yang tercerabut dari tanah mereka, dan unsur-unsur lain dari kekuatan rakyat pekerja pedesaan. Selanjutnya, pekerja perkotaan juga berperan, dengan pemberontakan dan pendudukan pabrik, mengarah ke perpecahan secara empiris dengan kepemimpinan di sekeliling Mao Zedong sehingga membatalkan proyek mereka untuk membangun rezim borjuis-demokratis, “Demokrasi Baru”. Ini pada akhirnya memaksa PKT ke jalur penghapusan kapitalisme secara efektif di negeri terpadat di bumi ini.

Pada tahun 1959, sebuah pemberontakan dengan karakteristik serupa menang di Kuba, menghancurkan rezim kediktatoran borjuis Fulgencio Batista. Revolusi kali ini dipimpin oleh gerakan yang asalnya borjuis kecil dan radikal-demokratis, M-26 dari Fidel Castro dan Che Guevara. Setelah hampir dua tahun polarisasi dalam gerakan, dengan tekanan yang signifikan dari para pekerja, dan setelah upaya yang gagal dari invasi imperialis Amerika yang didukung oleh kaum borjuis lokal di Teluk Babi, sayap ini bercondong pada perampasan milik kelas kapitalis dan berhasilnya penyelarasan dengan Uni Soviet.

Tekanan balik terhadap imperialisme yang diwujudkan oleh negara Soviet memberikan tendensi politik borjuis kecil di Tiongkok dan Kuba sebagai jalan lain dari jalur kapitalis “demokratis”. Gerakan proletar belum cukup terorganisir atau siap menunaikan tugas untuk mempolarisasi massa tertindas di sekelilingnya, dan gerakan buruh tidak memiliki kepemimpinan Marxis. Namun, bahkan dengan kepemimpinan yang goyah, yang pada beberapa waktu condong kepada kolaborasi kelas, dan tidak memiliki perspektif internasionalis tentang peralihan ke sosialisme, dalam kasus-kasus luar biasa, perjuangan kelas dapat mengarah kepada penghancuran negara borjuis dan penciptaan sebuah jenis kekuasaan yang berbeda. Kemudian, pada tahun 1970-an, terjadi perluasan negara pekerja bercacat dari Vietnam Utara ke selatan negara itu, menyatukannya kembali, dan suatu proses revolusioner di Laos, yang serupa dengan penjabaran di atas.

Ketiadaan partai-partai proletar Marxis dalam peristiwa-peristiwa revolusioner ini bukanlah alasan untuk mengabaikan pentingnya dan pencapaian mereka. Hanya saja, gerakan buruh tidak boleh mengandalkan keadaan luar biasa atau kejadian serupa dapat terulang begitu saja tanpa partai revolusioner. Berbeda dengan para revisionis dalam gerakan Trotskyis pada saat itu, kami tidak melihat dalam proses ini keberadaan “jalur strategis baru” menuju revolusi sosialis. Dalam sebagian besar kasus, pemimpin-pemimpin aliran kolaborasi kelas, reformis atau sentris yang mengepalai gerakan buruh menenggelamkan mereka ke dalam kekecewaan, pengkhianatan atau demoralisasi, yang mengarah pada kekalahan dan membawanya ke satu atau bentuk lain dari rezim kapitalis.

Dalam kasus-kasus di mana revolusi memang menang, unsur-unsur kecacatan birokrasi membuat mereka jauh dari teladan. Di negeri-negeri di mana negara pekerja didirikan, masihlah penting untuk membangun partai-partai Marxis, sehingga mereka dapat mewakili kepentingan pekerja melawan elit birokrasi berkuasa. Lapisan birokrasi ini bertindak di bawah tekanan buruh pada beberapa waktu dan imperialisme pada waktu yang lain, tetapi selalu kurang komitmen terhadap proses peralihan ke sosialisme, baik dalam prasyarat politiknya (demokrasi proletar), maupun prasyarat material (perencanaan perekonomian secara demokratis dan perjuangan menuju kemenangan revolusi di seluruh dunia).

Akumulasi dari kontradiksi rezim birokratis, ditambah dengan tekanan imperialis yang luar biasa dan terhambatnya revolusi internasional adalah penyebab kontra-revolusi di Eropa Timur (1989-90) dan Uni Soviet (1991). Proses semacam itu bukanlah hasil dari invasi imperialis, melainkan dari golongan pro pemulihan kapitalis di dalam negeri, terutamanya sayap-sayap pro-kapitalis di lingkaran birokrasi pemerintah, yang ingin menjadi individu pemilik kekayaan. Peristiwa ini merupakan kekalahan besar bagi gerakan buruh di seluruh dunia.

Negara-negara buruh terbirokratisasi yang masih eksis saat ini adalah Tiongkok, Kuba, Korea Utara, Vietnam, dan Laos. Kami tanpa syarat membela negara-negara ini dan hak-hak mereka untuk mempertahankan diri dari ancaman, kudeta, dan serangan imperialis. Kami mengecam kampanye kebohongan dan pencemaran nama baik oleh monopoli media kapitalis terhadap negeri-negeri ini. Kami juga menentang sanksi dan blokade ekonomi yang melemahkan ekonomi mereka dan membuat rakyat mereka kelaparan dan tercerai berai.

Birokrasi yang memerintah telah mengalami penataan ulang ideologis yang berbeda dan mengkorelasikannya dengan kekuatan dengan imperialisme selama bertahun-tahun. Pengalaman telah menunjukkan ketidakmungkinan mengelola ekonomi industri secara efisien hanya dengan perencanaan birokrasi. Dua kemungkinan muncul dari sini: menyertakan pekerja ke dalam administrasi (perencanaan demokratis), yang bertentangan dengan monopoli politik birokrasi; atau menerima peran pasar sebagai sarana untuk mengalokasikan investasi. Saat ini, jalan kedua ini telah ditempuh, didukung oleh meningkatnya tekanan ekonomi dari kaum borjuasi dunia untuk keterbukaan setelah jatuhnya Uni Soviet. Ini mengarah pada penciptaan sektor kapitalis (non-dominan) dalam perekonomian negeri-negeri ini, yang dengannya negara memiliki hubungan penerimaan dan semakin ketergantungan. Bonapartisme birokratis dari rezim-rezim ini sejak awal didasarkan sebagai perantaraan antara tekanan buruh dan borjuasi internasional. Penciptaan kaum borjuasi lokal dengan pengaruh sosial tidak secara mutlak menghancurkan keseimbangan ini, tetapi mengakibatkan pada peningkatan ketidakstabilan.

Kami menolak klaim bahwa Tiongkok, Kuba, dll. telah menjadi kediktatoran kapitalis (atau bahkan kekuatan imperialis dalam kasus Tiongkok) setelah reformasi perekonomian beberapa dekade terakhir. Tetapi kami juga mengkritik mereka yang meremehkan risiko besar dan ketidaksetaraan yang ditimbulkan oleh reformasi ini dan yang mendukung arah yang diambil oleh Partai Komunis yang berkuasa. Persoalan-persoalan tentang pemerintah Tiongkok, misalnya, yang mengklaim “membangun sosialisme”, benar-benar keliru. Jika kaum buruh tidak memimpin masyarakat peralihan ini, mereka akan semakin menghadapi risiko kontra-revolusi yang akan mendirikan kembali negara borjuis dan mewujudkan pemulihan sepenuhnya corak produksi kapitalis. Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok telah menemukan sebuah doktrin baru dengan memproklamirkan keselarasan sempurna antara ekonomi pasar dan kepemilikan kolektif negara, yang disebut “sosialisme pasar dengan kepribadian Tiongkok”. Penyimpangan seperti itu akan memiliki akhir yang nyata jika tidak dikalahkan pada waktunya: kehancuran dari apa yang tersisa dari pencapaian sosial revolusi Tiongkok, yang mengarah pada memburuknya kondisi kehidupan rakyat pekerja secara brutal.

Persoalan kontra-revolusi kapitalis diarahkan kepada negara-negara buruh yang tersisa, tetapi belum dituntaskan oleh sejarah. Ini cenderung akan memperoleh bentuk yang lebih jelas ketika krisis ekonomi dan sosial muncul di negeri-negeri ini. Ini terutama berlaku di Tiongkok, di mana besarnya kontradiksi hanya mungkin terjadi karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menunggu saat krisis meledak dengan kekuatan penuh. Ada dua jalan yang memungkinkan: bergerak maju menuju demokrasi proletar berdasarkan dewan-dewan buruh, atau mundur ke rezim borjuis otoriter, bahkan jika pada awalnya ia mengupayakan kedok “demokratis”. Persoalan tentang krisis Tiongkok di masa depan adalah penting bagi revolusi global dan kaum revolusioner harus mampu mengembangkan perspektif yang tepat tentangnya.

Di negara-negara buruh terbirokratisasi yang tersisa, demokrasi proletar perlu didirikan, yaitu, kekuatan politik yang didasarkan pada dewan-dewan rakyat pekerja, dari situ sistem badan-badan pengelolaan daerah dan nasional dibangun. Perwakilan terpilih dari badan-badan ini akan selalu dapat dilengserkan oleh organisasi-organisasi proletar yang mengangkat mereka, sehingga mereka secara politis tunduk di bawah kelas pekerja dan bukan merupakan lapisan parasit dengan otonomi yang sangat besar, seperti birokrasi di negara-negara tersebut sekarang.

Organisasi pekerja harus meninjau ekonomi dari atas ke bawah, yang dalam keadaan saat ini mencakup nasionalisasi kembali sebagian besar industri dan perdagangan swasta, dan pengambilalihan investasi kapitalis tanpa kompensasi. Mereka juga harus melakukan peninjauan terhadap sektor negara (yang masih menjadi komponen fundamental ekonomi) demi kepentingan produsen sebenarnya – kaum buruh – menghilangkan parasitisme birokrasi. Salah satu efek yang paling cepat akan terjadi yaitu pengurangan ketidaksetaraan sosial secara drastis.

Kaum Marxis berjuang untuk mengakhiri semua hak istimewa bagi birokrasi yang berkuasa. Setiap pejabat negara hanya boleh menerima gaji rata-rata seorang pekerja. Biaya operasional pejabat akan dibayar oleh negara pekerja, tetapi para pejabat harus dicegah dari menggunakan posisinya demi keuntungan pribadi. Kekayaan yang dihimpun para birokrat harus segera disita, dan dibeberkan kerahasiaannya.

Penggunaan aparat kepolisian terhadap gerakan buruh dan pemuda yang melawan restorasi kapitalis dan penindasan birokrasi perlu segera dihentikan. Kami ingin agar kaum dzalim yang korup yang berkontribusi pada perkembangan ketidaksetaraan dan kemajuan hubungan kapitalis dalam perekonomian menghadapi pengadilan independen oleh organisasi pekerja. Perjuangan ini harus mengarah pada perluasan hak-hak demokratik bagi kelas buruh dan organisasi-organisasinya, tetapi tidak bagi kaum borjuasi dan kelompok-kelompok politik yang bertindak di bawah kepentingan mereka secara langsung. Surat kabar, situs web, dan buku-buku kaum Marxis, pekerja militan, kalangan pelajar-mahasiswa radikal, dan aktivis sayap kiri harus memiliki kebebasan penuh untuk bersuara. Kebebasan penuh berorganisasi bagi serikat-serikat pekerja dan partai-partai politik yang berkomitmen untuk mempertahankan revolusi dan pencapaian sosialnya!

Kami juga menghendaki keterlibatan negara-negara buruh di kancah internasional untuk mendukung perjuangan-perjuangan proletar dan anti-imperialis, secara aktif mendukung mereka secara material dan mengangkat program berdasarkan kebutuhan akan kediktatoran proletariat. Tidak ada satu negeripun dapat mencapai sosialisme dengan sendirinya – kemenangan revolusioner diperlukan di beberapa negeri, termasuk pusat-pusat imperialis. Demi pemenuhan efektif dari peran internasionalis ini, dan dari semua tugas lain yang disajikan di sini, kebangkitan kepemimpinan proletar diperlukan – sebuah revolusi politik buruh yang menyingkirkan klik birokrasi pemerintah dari kekuasaannya melalui pemberontakan dan menundukkan aparat politik-administratif di bawah organ kelas pekerja.

Menghadapi setiap upaya kontra-revolusi yang datang dari kaum imperialis, dari kekuatan borjuasi nasional, dari bagian-bagian birokrasi atau bahkan campuran dari anasir-anasir ini, kami menyerukan kaum buruh untuk mempertahankan negara buruh dengan segala cara yang tersedia. Rakyat pekerja di negara lain harus melakukan gerakan solidaritas, terutamanya rakyat pekerja di negara kapitalis yang berpartisipasi dalam upaya kontra-revolusioner tersebut. Jika kelompok-kelompok tertentu dari birokrasi juga menentang kekuatan kontra-revolusioner (bahkan demi kepentingan mereka sendiri), kami akan memperjuangkan kesatuan aksi dalam permasalahan ini, tanpa melupakan kemandirian politik buruh dan kritik kami terhadap birokrasi.

Ganyang para elit birokrasi! Panjang umur demokrasi proletar! Panjang umur revolusi sosialis internasional!

Bab 12 – Warisan Teoretis dan Program yang Kami Anut

Gerakan proletar Marxis mencapai titik tertingginya pada abad ke-20 dengan organisasi Komunis Internasional pada tahun 1919. Hingga Kongres Keempatnya pada tahun 1922, ia berusaha mengembangkan strategi revolusioner yang konsisten, serta memberikan dukungan material, kepada gerakan buruh di seluruh dunia. Pada tahun 1924, pada Kongres Kelima, kelonggaran dibuat bagi nasionalisme borjuis, dengan bergabungnya partai Kuomintang sebagai cabang simpatisan, dan Chiang Kai-Shek, yang segera akan menjadi algojo para Komunis Tiongkok dalam revolusi 1927, sebagai seorang anggota kehormatan. Setelah itu, Komintern selalu mengambil jeda beberapa tahun untuk rapat, padahal sebelumnya, bahkan pada masa perang saudara, Komintern mengadakan kongres tahunan. Dua kongres terakhir ditandai dengan tikungan yang melemahkan gerakan buruh. Kongres keenam (1928) memperjuangkan haluan ultra-kiri yang membatalkan kemungkinan kesatuan aksi dalam gerakan buruh melawan reaksi Fasis. Pada yang ketujuh (1935), Komintern mengusulkan pembubaran kemandirian kelas pekerja melalui koalisi dengan borjuasi “demokratis” (front rakyat). Yang terakhir pembubaran Internasional ini oleh Stalin secara formal pada tahun 1943 hanyalah tindakan buntut dari proses penyesuaian organisasi untuk bekerja sama dengan kaum kapitalis.

Beberapa aliran muncul dari Komunis Internasional. Kami setuju dengan kritik dan pernyataan dari Oposisi Kiri Internasional, yang dipimpin oleh Leon Trotsky, dan Internasional Keempat yang didirikannya pada tahun 1938. Ia dibangun di seputar perspektif terbaik dari Komunis Internasional, sambil juga bersikap kritis terhadap garis politik yang diambil sejak Kongres Kelima, dan diperluas dengan cara yang kreatif berdasarkan perkembangan paling penting dari perjuangan kelas di tahun 1930-an. Analisis mereka masih relevan hingga saat ini untuk memahami metode politik Marxis. Meskipun demikian, terkecuali cabang di Amerika (Socialist Workers Party/SWP), di Bolivia (Partido Obrero Revolucionario/POR), dan di Sri Lanka (Lanka Sama Samaja Pakshaya/LSSP), Internasional Keempat tidak dapat mengakar secara signifikan di antara kelas pekerja. Ia terbentur dampak fitnah dan penganiayaan kaum Stalinis, baik dalam gerakan buruh maupun selama Perang Dunia II, di mana kebanyakan tokoh-tokoh pentingnya di Eropa dan Asia dibunuh oleh kaum Fasis ataupun agen-agen Stalinis (sebuah nasib yang dialami oleh Trotsky sendiri dalam pengasingannya di Meksiko).

Internasional Keempat sebagian dibangun kembali pada periode pasca-perang, tetapi dengan kepemimpinan yang mengandung sejumlah kelemahan, meskipun terampil dalam pekerjaan bawah tanah. Karena kader-kader yang lebih berpengalaman meninggal selama perang dan kepemimpinan SWP meninggalkan peran internasionalnya secara aktif, pengorganisiran ulang diserahkan kepada cabang Eropa. Kepemimpinan baru ini mengangkat tokoh-tokoh yang tidak berperan penting dalam Trotskyisme sebelum periode perang (seperti Michel Pablo dan Sal Santen), beberapa di antaranya masih sangat muda dan tidak berpengalaman secara politik (pada Kongres Sedunia Kedua, yang diadakan pada 1948, Ernest Mandel dan Livio Maitan baru berusia 25 tahun). Mereka juga melakukan kesalahan dengan mengangkat kembali langsung ke kepemimpinan gerakan, orang-orang yang sebelumnya telah keluar atau dikeluarkan dari organisasi, tanpa menimbang secara serius perbedaan pendapat di masa lalu (kasus Pierre Frank). Dihadapkan pada perbedaan yang timbul dari kompleksitas peristiwa yang terjadi segera setelah perang, kepemimpinan ini juga menggunakan langkah-langkah birokratis untuk menekan suara-suara yang berbeda pendapat. Semua ini menyebabkan banyak zigzag politik dan kebingungan teoretis antara pertengahan 1940-an dan awal 1950-an.

Pada 1951, setelah periode perdebatan sengit, kepemimpinan internasional yang baru mengambil langkah penyesuaian dengan Stalinisme, Sosial Demokratik Kiri, dan nasionalisme borjuis kiri. Menurut garis politik ini, kaum Marxis harus memainkan peran untuk menekan kekuatan-kekuatan politik tersebut agar berfungsi sebagai “senjata tumpul”, yang dianggap mampu melakukan tugas-tugas sentral revolusi sosialis, atau setidaknya permulaannya, dalam bentuk “pemerintahan buruh dan petani” – ditafsirkan kembali sebagai tahap pertengahan menuju kediktatoran proletariat. Ini berarti mengabaikan atau menyembunyikan kritik terhadap tendensi politik tersebut dan sebagian besar meninggalkan program Marxis itu sendiri. Sepanjang garis tersebut, ada kemungkinan peleburan sebagian organisasi atau seluruhnya dari cabang-cabang Internasional melalui “deep entry” (penyusupan senyap) ke dalam organisasi-organisasi ini. Ada banyak persetujuan dan sedikit penolakan efektif terhadap garis politik semacam itu, sebagian besar karena kelemahan kebanyakan cabang-cabang negeri dan minat internasional terbatas yang diambil oleh cabang Amerika.

Adopsi metode Stalinis terhadap suara-suara yang berbeda pendapat dan penjelasan yang kelewatan anti-Marxis demi membenarkan oportunisme politik menyebabkan pengusiran cabang-cabang seperti di Inggris (Revolutionary Communist Party/RCP) dan Prancis (Parti Communiste Internationaliste/PCI), yang pertama kali bangkit melawan garis politik ini. Kami mengklaim analisis dan kritik yang disajikan oleh mayoritas dari dua kelompok ini (yang menentang kepemimpinan Internasional) sebagai penghubung penting dengan kesinambungan program Trotskyisme. Kontribusi serupa datang dari aliran Vern-Ryan, dari SWP Amerika lokal Los Angeles. Kontribusi semacam itu menyajikan analisis yang lebih koheren tentang proses transformasi sosial di Eropa Timur dan Tiongkok (mirip dengan pemahaman kita saat ini) daripada yang disajikan oleh Pablo dan Mandel (yang menurutnya transformasi bertahap telah terjadi melalui “asimilasi struktural” dengan Uni Soviet). Kelompok-kelompok tersebut mengecam garis politik likuidasionis yang terkandung dalam tinjauan ulang peran Stalinisme dan dalam proposal “deep entry” kaum Trotskyis ke dalam partai-partai Sosial Demokrat dan Stalinis. Karena kami percaya bahwa kontribusi semacam itu adalah bagian sentral dari kesinambungan revolusioner, kami telah melakukan upaya sistematis untuk menerjemahkan dan membuatnya tersedia dalam Arsip Sejarah kami, untuk digunakan dalam pendidikan anggota dan kontak kami.

Garis politik yang diambil oleh kepemimpinan Internasional pada paruh kedua 1940-an dan awal 1950-an membuka jalan adaptasi Internasionale Keempat mengambil posisi yang salah pada cabang Bolivia (POR) dalam revolusi Bolivia 1952-53. POR berorientasi kepada pembentukan pemerintahan kolaborasi kelas yang utopis bersama sayap kiri dari partai nasionalis – Movimiento Nacionalista Revolucionario (MNR), yang mereka yakini memungkinkan untuk membangun “pemerintahan buruh dan tani” dan bukannya posisi kemandirian kelas demi pembentukan kediktatoran proletariat. Mereka juga menyesuaikan tuntutan dan program mereka mengikuti batasan yang diizinkan oleh sayap kiri MNR. Kegagalan revolusi Bolivia untuk maju, yang seharusnya POR dapat memainkan peran sentral, menandai adaptasi Internasional Keempat ke dalam kebijakan (sentris) yang tak konsekwen dan bimbang. Sedikit yang mengkritik jalan yang diambil oleh POR, yang didukung penuh oleh kepemimpinan internasional. Dokumen garis politik Vern-Ryan merupakan pengecualian penting dan referensi tentang masalah ini.

Menghadapi upaya manipulasi internal oleh kepemimpinan Eropa demi menyingkirkan kepemimpinan lama dari cabang Amerika, SWP menerbitkan, meskipun sangat terlambat, perjuangan melawan “Pabloisme” pada tahun 1953. Ia mengidentifikasi sosok pemimpin utama Eropa, Michel Raptis (Pablo) Yunani, sebagai penyebab kemerosotan Internasional Keempat. SWP Amerika pecah dari Internasionale Keempat dan mengorganisir “Komite Internasional” dengan beberapa cabang penting. Terlepas dari kritik yang sangat tepat, yang kami setujui, reaksi ini tidak hanya lama tertunda, tetapi juga tak konsisten. Komite Internasional tidak mengorganisir dirinya sendiri sebagai kutub berlawanan yang didedikasikan untuk membangun kembali gerakan Marxis dan meninjau kembali garis politik Sekretariat Internasional – Internasionale Keempat, tetapi merupakan reuni formal bagi semua yang ingin tetap berada di luar Internasionale Keempat dan masih mengasosiasikan diri mereka dengan warisan Trotskyisme, yang tidak selalu untuk alasan yang baik. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam Komite Internasional, meskipun menolak adaptasi likuidasionis dari Sekretariat Internasional – Internasionale Keempat, tidak meninjau kebingungan teoretis dan posisi yang dikembangkan pada 1940-an dan awal 1950-an untuk menjelaskan transformasi Eropa Timur, Yugoslavia dan Tiongkok, yang merupakan latar belakang kapitulasi berikutnya – dan yang didasarkan pada pemahaman yang salah tentang Stalinisme. Perpecahan tahun 1953 berarti akhir dari Internasionale Keempat sebagai organisasi politik yang koheren. Kami menghargai perjuangan Komite Internasional melawan likuidasi, meskipun banyak keterbatasan dan kontradiksinya.

Pada 1963, sebagai akibat dari tidak adanya penilaian atas peristiwa-peristiwa secara serius, dan juga kemacetan selama bertahun-tahun kelompok-kelompok yang mengaku “ortodoks” dan “anti-Pablois”, terjadilah penyatuan kembali sebagian dari gerakan tersebut, yang berasal dari “Sekretariat Perserikatan Internasional Keempat”. Mereka ini mempertahankan perspektif kunci yang dikembangkan oleh Pablo dan Mandel pada periode sebelumnya, yang sebagian telah dianut oleh SWP Amerika dan anasir-anasir lain dari Komite Internasional, seperti kelompok Nahuel Moreno di Amerika Latin, dalam menghadapi hasil dari Revolusi Kuba.

Bagi kami, “kesinambungan revolusioner” Trotskyisme sangat rapuh, dan tidak terkait dengan satu organisasi yang mampu mempertahankan dan mengembangkan program revolusioner selama tahun-tahun krisis pergerakan. Sebaliknya, kami melihat kesinambungan revolusioner sebagai gabungan kontribusi yang dibuat pada waktu-waktu yang berbeda, oleh kelompok-kelompok yang berbeda, yang telah berkontribusi dalam memelihara, mengembangkan, dan mewariskan gagasan dan praktik Trotskyisme. Sumbangan-sumbangan ini bagi kami merupakan titik awal pondasi bagi rekonstruksi gerakan Marxis revolusioner.

Sepanjang paruh kedua abad ke-20, “gerakan Trotskyis” semakin terlibat dalam perpecahan; banyak disebabkan oleh peristiwa politik yang relevan, tetapi biasanya juga melibatkan praktik birokrasi, serta kebingungan politik. Budaya peminggiran terhadap kaum proletar mulai berkembang, yang juga diperkuat dengan mengecilnya organisasi. Hari ini orang tidak bisa lagi berbicara tentang Trotskyisme sebagai gerakan dengan pandangan politik yang koheren. Ada beberapa organisasi yang pada akhirnya mungkin memiliki kesepakatan, tetapi tidak memiliki prinsip teoretis atau politik yang sama dan terkadang menghasilkan kesimpulan dan tindakan yang sepenuhnya bertentangan secara bertolak-belakang. Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa peristiwa di paruh kedua abad ke-20 dan awal abad ke-21, beberapa aliran organisasi “Trotskyis” hanya bisa memberikan sedikit kemajuan dalam perspektif mereka jika dibandingkan dengan Sosial Demokrasi reformis atau kolaborasi kelas Stalinis, tanpa mempertimbangkan mereka yang tidak signifikan secara jumlah. Dalam kasus lain, mereka tanpa rasa malu membuntuti gerakan pro-imperialis.

Spartacist League (SL) di AS, terlepas dari keterbatasan dan ketidaksempurnaannya, merupakan pengecualian positif dibanding aliran-aliran “Trotskyis” tak berprinsip lainnya di tahun 1960-an dan 1970-an, merupakan mata rantai lain dari kesinambungan revolusioner yang kami anut. Tidak seperti RCP, PCI (yang kemudian menjadi kelompok “Lambertis”) dan organisasi aliran Vern-Ryan, SL berhasil berkembang sebagai organisasi revolusioner selama beberapa tahun, menanamkan akarnya ke dalam kelas pekerja dan berpartisipasi dalam beberapa perjuangan penting. Ia juga berhasil mendobrak keterasingan secara nasional dan meluncurkan cikal bakal organisasi internasional revolusioner baru, dengan kehadiran di beberapa negeri di Eropa, Amerika Latin, dan Oseania. Namun, karena akumulasi tekanan keterasingan dan kekalahan kelas pekerja, ia juga merosot, menjadi sekte birokratis dengan posisi politik yang terombang-ambing, dimulai pada 1980-an. Ketika kemerosotan ini semakin mendalam pada tahun 1990-an dan 2000-an, ia sekarang menjadi karikatur yang aneh dari sosok mereka di masa lalu. Bagaimanapun, kami menganggap kontribusi mereka dari tahun 1960-an dan 70-an sebagai pondasi penting.

Demikian pula, kami mengklaim upaya yang dilakukan oleh para kader yang keluar dari organisasi ini pada 1980-an untuk membangun kembali warisan mereka, yang berpuncak pada International Bolshevik Tendency (IBT). Akan tetapi, IBT tidak pernah berhasil mencapai tingkat soliditas dan penanaman akar yang sama ke dalam kelas pekerja seperti SL, sebagian karena kemunculan mereka bertepatan dengan periode kekalahan perjuangan kelas yang mendalam. Terlepas dari analisis penting mereka, IBT tidak pernah mampu membangun kerja-kerja politik apapun yang awet di kalangan proletariat atau melakukan pengelompokan ulang kaum Marxis secara signifikan, yang memuncak dengan hilangnya anggota secara bertahap, transformasinya menjadi sekte birokratis tanpa kehadiran dalam perjuangan kelas, dan mengulangi kesalahan-kesalahan SL. Baru-baru ini, sisa-sisa dari IBT berpecah menjadi tiga organisasi kecil yang saling bersaing.

Sebuah benih internasionale kaum proletar Marxis (cikal bakal dari sebuah Internasionale proletar revolusioner baru) hanya dapat ditempa di sekitar peleburan dengan kelompok-kelompok lain yang bergerak menuju tujuan yang sama, dan bergabung dengan faksi-faksi termaju gerakan buruh dalam periode perjuangan yang bergerak maju, memiliki kejelasan tujuan pada setiap saat. Pelajaran dari generasi sebelumnya memang penting, tetapi benih-benih tersebut juga akan memiliki banyak hal untuk digali sendiri dalam momen sejarah yang baru. Kami ingin campur tangan dalam mengubah sejarah: untuk berpartisipasi dalam pengelompokan ulang organ-organ yang membawa kami lebih dekat untuk mengikat kepeloporan kelas pekerja dengan pandangan, tindakan dan strategi Marxis yang konsisten, yang sangat diperlukan di zaman kita. Ini adalah langkah terpenting dalam mempersiapkan revolusi sosialis. Kita harus berani mengupayakan untuk mendekatkan dan menyatukan diri dengan organisasi lain di atas dasar program dan pandangan yang diterangkan di sini, selayaknya juga kami tidak boleh menyembunyikan gagasan kami demi mencapai “kesatuan” yang semu dan tidak stabil.

Marxisme bukanlah suatu dogma, melainkan panduan untuk bertindak! Masa depan memberikan peluang besar bagi perkembangan aliran politik yang mengetahui posisi kelasnya – bersama dengan kelas pekerja – dan bagaimana cara mengintervensi sebagai bagian dari kelas pekerja tersebut. Masa depan umat manusia tanpa perspektif sosialis akan suram. Kelas pekerja tidak dapat mencapai sosialisme tanpa revolusi dan transisi sosialis, kepeloporannya harus percaya diri, sadar dan tanpa pamrih dalam mengemban tugas-tugas ini. Menempa tradisi ini, budaya teori Marxis revolusioner dan militansi di antara kelas pekerja, adalah tujuan kami.